BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam materi ini akan dibahas
kewajiban pada dua pihak : karyawan dan perusahaan. Kita mulai dengan menyoroti
kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Lalu kita membalikkan perspektifnya
dengan memfokuskan kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Tentu saja materi
yang sama bisa dibahas juga dari segi hak. Kewajiban di satu pihak kerap kali
(tetapi tidak selalu) sepadan dengan hak di pihak lain. Membahas secara umum
kewajiban karyawan dan perusahaan mau tidak mau akan menghadapi banyak
kesuliatan. Sebab, diantara karyawan terdapat banyak variasi : ada posisi dan
peran yang sangat beragam. Kalau disini kita berbicara tentang karyawan, yang
terutama kita maksudkan adalah manajer, dalam arti mereka yang memimpin
karyawan lain, seperti misalnya kepala bagian. Alasannya, terutama merekalah
yang memikul tanggungjawab dalam perusahaan, sehingga konsekuensi-konsekuensi
etika tampak dengan lebih jelas. Tetapi yang berlaku bagi para manajer, mutatis mutandis bisa diterapkan juga
pada semua karyawan lain.
Masalah etis yang ditimbulkan oleh
perusahaan tidak selalu sama. Pada pabrik kimia misalnya, kita menemui
masalah-masalah moral yang tidak akan timbul pada kebanyakan perusahaan lain.
Dalam uraian ini kita tidak memperhatikan semua perbedaan itu. Kita akan
berusaha membicarakan perusahaan pada umumnya, sambil melewati semua perbedaan
konkret yang ada. Yang penting disini terutama dua tipe permasalahan. Pertama,
konflik antara kewajiban-kewajiban moral atau disebut juga dilema moral. Sering
kali kita menghadapi dua kewajiban sekaligus. Ada alasan untuk memenuhi
kewajiban satu dan ada alasan juga untuk memenuhi kewajiban kedua, tetapi tidak
mungkin memenuhi kedua kewajiban itu sekaligus. Misalnya, karyawan tidak hanya
mempunyai kewajiban pada perusahaan saja, tetapi mempunyai kewajiban juga pada
dirinya sendiri dan keluarganya. Kedua, ada masalah etika lain yang dinilai
secara berbeda oleh berbagai pihak. Ada yang mengatakan : “boleh-boleh saja,
tidak apa-apa”. Ada orang lain yang beranggapan : “tidak boleh”. Orang lain lagi
mengatakan : “barangkali sebaiknya tidak dilakukan, tapi pada kenyataannya
semua orang melakukan hal itu”. Di tengah perbedaan ini siapa yang benar? Di
sini kita menginjak grey area dalam
etika atau “kawasan kelabu”, dimana kualitas etis sebuah perbuatan tidak jelas.
Kita mempunyai kewajiban untuk
selalu mengatakan yang benar dan tidak berbohong. Demikian juga ada kewajiban
untuk tidak mencuri atau menipu, walaupun hal-hal seperti itu sering terjadi
dalam konteks bisnis. Kita ingat saja akan penipuan dengan cek kosong atau uang
palsu, penipuan dengan pembukuan ganda, dll. Di sini tidak ada masalah etis,
yang ada hanyalah masalah motivasi. Orang tahu bahwa perbuatannya tidak baik,
namun merasa tergoda untuk melakukannya demi keuntungan yang diperoleh dengannya.
Yang berlangsung disini adalah konflik motivasional, bukan konflik kewajiban
moral, karena sudah jelas apa yang seharusnya dilakukan. Motivasi merupakan
soal untuk agama atau psikologi, bukan untuk etika. Dalam etika kita membatasi
diri pada pertanyaan : bagaimana dapat kita mengetahui apa yang baik secara
moral. Setelah hal itu diketahui, kita andaikan saja orang akan melakukannya
juga.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
yang termasuk kewajiban karyawan terhadap perusahaan?
2. Apakah
yang dimaksud Whistle Blowing?
3. Apakah
yang termasuk kewajiban perusahaan terhadap karyawan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Menguraikan apa yang termasuk kewajiban
karyawan terhadap perusahaan.
2.
Menjelaskan apa yang dimaksud Whistle Blowing.
3.
Menguraikan apa yang termasuk kewajiban perusahaan
terhadap karyawan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kewajiban Karyawan Terhadap
Perusahaan
Dalam
melakukan kegiatan operasional sehari-hari, karyawan memiliki kewajiban
terhadap perusahaan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan juga memiliki kewajiban
terhadap karyawan. Ada tiga
kewajiban karyawan yang penting. Yaitu kewajiban ketaatan, kewajiban
konfidensialitas, dan kewajiban loyalitas. Selain membebani karyawan dengan
berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban
untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya
tidak melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para
karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya,
serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
2.1.1 Tiga kewajiban karyawan yang penting
Dari
uraian di atas sudah menjelaskan bahwa disini tidak boleh diharapkan sebuah
daftar lengkap yang meliputi semua kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Kita
hanya mempelajari tiga kewajiban yang menimbulkan masalah khusus, yaitu
kewajiban ketaatan, konfidensialitas, dan loyalitas.
a. Kewajiban ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya
di perusahaan, justru karena ia bekerja di situ. Sebagai karyawan ia harus
mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Namun demikian, hal itu tidak
berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang di berikan oleh
atasannya. Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi
perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Kedua,
karyawan tidak wajib mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun
dari segi etika tidak ada keberatan. Yang dimaksudkan dengan perintah yang
tidak wajar adalah perintah yang tidak diberikan demi kepentingan perusahaan.
Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati,
ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.
b. Kewajiban konfidensialitas
Kewajiban konfidensialitas adalah
kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat sangat rahasia. Banyak
profesi mempunyai suatu kewajiban konfidensialitas, khususnya profesi yang
bertujuan membantu sesama manusia. Dalam konteks perusahaan juga
konfidensialitas bisa memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada
suatu perusahaan, bisa saja dia mempunyai akses kepada informasi rahasia.
Kewajiban konfidensialitas tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di
perusahaan, tetapi berlangsung terus setelah ia pindah kerja.
c. Kewajiban loyalitas
Kewajiban loyalitas pun merupakan
konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Karyawan harus
mendukung tujuan-tujuan perusahaan, ia harus menghindari apa yang bisa
merugikan kepentingan perusahaan. Faktor utama yang bisa membahayakan
terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan, artinya konflik antara
kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh
menjalankan kegiatan pribadi, yang bersaing dengan kepentingan perusahaan.
2.1.2
Melaporkan kesalahan perusahaan
Dalam literatur etika bisnis bahasa inggris
masalah ini dikenal sebagai whistle blowing (meniup peluit) dalam bahasa
inggris istilah ini sering digunakan
dalam arti kiasan: membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak.
Dalam etika, whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi: menarik
perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah
organisasi. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, terjadi whistle blowing, bila seorang pegawai negeri memberitahukan kepada
pers tentang praktek-praktek korupsi dari atasannya. Di sini kita membatasi
dari pada whistle blowing dalam
rangka bisnis, sehingga artinya menjadi: melaporkan kesalahan yang dilakukan
oleh sebuah perusahaan kepada dunia
luar, seperti instansi pemerintah atau pers. Perlu ditekankan bahwa kita hanya
berbicara tentang whistle blowing, kalau dilakukan oleh karyawan tentang
perusahaan dimana ia bekerja. Jika pelaporan kesalahan dilakukan oleh orang
dari luar perusahaan kita tidak berbicara tentang whistle blowing seperti dimaksudkan di sini. Karena bekerja pada
suatu perusahaan, seorang karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai
perusahaannya yang bersifat rahasia.
Perlu
digaris bawahi lagi bahwa dengan whistle
blowing dimaksudkan pelaporan kesalahan perusahaan, bukan pelaporan
kesalahan pribadi seseorang dalam perusahaan. Pelaporan kesalahaan perusahaan
itu dinilai dengan cara yang sangat berdeda. Di satu pihak seorang whistle
blowing bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menepatkan nilai moral yang
benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Sebab, dengan melaporkan
kesalahan perusahaan seorang karyawan bersedia mengambil resiko besar. Karier
selanjutnya dalam perusahaan bisa terhambat, bahkan di pecat. Di lain pihak
seorang pelapor kesalahan perusahaan sering di cap sebagai pengkhianat, karena
ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban
loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan. Pelaporan bisa
dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi. Dengan sedikit
variasi, syarat-syarat ini ditemukan pada banyak pengarang.
a. Kesalahan perusahaan harus besar.
Jika kesalahan perusahaan kecil,
misalnya hanya membayar pajak sedikit kurang dari kewajibannya, hak itu tidak
pantas dilaporkan. Selama kesalahan kecil, loyalitas perusahaan tetap harus
diutamakan. Norma Bowie dan Ronald Duska menyebut tiga kemungkinan kesalahan
dianggap besar : 1) Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan
kerugian yang tidak perlu untuk pihak ketiga (selain perusahaan dan si
pelapor). 2) Kesalahan bisa dianggap besar juga, bila terjadi pelanggaran
hak-hak asasi manusia. 3) Akhirnya, kesalahan dinilai besar pula, bila
dilakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan perusahaan.
b. Pelaporan harus didukung oleh fakta
yang jelas dan benar.
Semua fakta tentang kesalahan harus
jelas dan dimengerti dengan betul oleh si pelapor. Tidak boleh terjadi, orang
melaporkan sesuatu yang secara faktual kurang jelas atau tidak dikuasai betul
oleh si pelapor. Dalam konteks industri modern yang memakai teknologi tinggi,
syarat kedua ini sering kali sulit dipenuhi, karena hanya sedikit orang
betul-betul menguasai masalahnya.
c. Pelaporan harus dilakukan
semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena
motif lain.
Kerugian besar kepada pihak ketiga
bukan saja harus menjadi kenyataan, melainkan juga motif untuk melaporkan
kesalahan. Tidak etis bila orang melapor karena motif yang tidak murni,
walaupun kesalahannya memang besar. Whistle
blowing karena motif tidak murni sering terjadi. Misalnya, karyawan yang
sudah memutuskan untuk menghentikan kontrak kerjanya dengan perusahaan karena
kecewa mengenai pimpinan, pada saat pergi sebagai balas dendam membuka praktek
kurang etis dari perusahaan, seperti misalnya tidak membayar pajak. Motifnya
jelas kurang baik, yaitu mendiskreditkan perusahaan.
d. Penyelesaian masalah secara
internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar.
Jika karyawan merasa bertanggung
jawab, ia harus berusaha dulu untuk menyelesaikan masalah di dalam perusahaan
sendiri melalui jalur yang tepat. Hal itu juga sesuai dengan kewajiban
loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara internal itu gagal, ia
boleh memikirkan whistle blowing.
e. Harus ada kemungkinan real bahwa
pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
Jika sebelumnya orang tahu bahwa
pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak
melapor. Tentu saja, sebelum berlangsung, tidak pernah ada kepastian bahwa
pelaporan akan mencapai sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk
pihak ketiga. Tetaipi kita bisa berusaha “membaca” situasi dulu.
2.2 Kewajiban Perusahaan Terhadap
Karyawan
Di sini juga perlu ditekankan, kita tidak bisa
mempelajari semua kewajiban perusahaan. Kita harus membatasi diri pada beberapa
kewajiban penting yang minta perhatian khusus. Berturut-turut akan dibicarakan
tentang kewajiban perusahaan untuk tidak mempraktekkan diskriminasi, untuk menjamin
kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas, dan
untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Dibandingkan dengan
pasal sebelumnya, di sini menjadi lebih penting lagi bahwa kewajiban dari pihak
satu sering sesuai dengan hak dari pihak lain. Kewajiban perusahaan biasanya
sepadan dengan hak karyawan. Secara implisit atau eksplisit, kenyataan ini
berulang kali akan tampak dalam pembahasan selanjutnya.
2.2.1 Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi
Diskriminasi adalah masalah etis yang baru tampak dengan
jelas dalam paro kedua dari abad ke-20. Seperti berlaku untuk banyak hal lain
di zaman kita, tempat asal masalah ini adalah Amerika Serikat. Salah satu
prinsip dasar yang ditulis Thomas Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
(1776) ber-bunyi: ”We hold these truths to be self-evident: that all men are
created aqual and endowed by their creator with certain inalienable right”. Tetapi
persamaan semua warga negara yang dari semula dianggap begitu eviden, pada
kenyataan hanya dengan perlahan-lahan diakui di Amerika Serikat. Sekitar tahun
1950-an masih banyak diskiminasi dipraktekan, khususnya terhadap minoritas
kulit hitam, keturunan dari budak-budak yang dulu didatangkan dari Afrika untuk
bekerja di perkebunan. Pada waktu itu masih dinilai biasa saja, kalau sekolah
atau perusahaan secara prinsipil menolak menerima orang hitam. Kesadaran akan
keadaan yang tidak beres ini menimbulkan the
civil rights movement, gerakan kaum kulit hitam untuk memperoleh hak-hak
sama seperti warga negara Amerika lainnya. Pada tahun 1964 gerakan hak warga
negara itu pada prinsipnya tercapai dengan diterimanya undang-undang yang
disebut the Civil Rights Act.
Sejak tahun 1960-an,
masalahnya lebih terfokuskan pada diskriminasi terhadap wanita. Dan dalam
bentuk itu masalah diskriminasi tentu tidak terbatas pada Amerikat saja, tetapi
menjadi masalah untuk seluruh dunia. Kemudian di-persoalkan lagi diskriminasi
karena orientasi seksual, diskriminasi karena cacat badan, dan lain-lain.
Hampir setiap warga mempunyai salah satu masalah diskriminasi, berhubungan
dengan situasinya yang khas. Diskriminasi baru ter-hapus betul, bila dalam
suatu negara semua warga negara mempunyai hak yang sama dan diperlakukan dengan
cara yang sama pula. Dalam konteks indonesia, diskriminasi terutama timbul
berhubungan dengan status asli atau tidak asli, pribumi atau non pribumi, dari
warga negara. Di tambah lagi seperti di banyak negara lain, karena alasan agama
dan jenis kelamin.
a. Diskriminasi dalam konteks
perusahaan
Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua
sektor masyarakat, termasuk dunia bisnis. Karena itu diskriminasi menjadi juga
suatu topik bagi etika bisnis. Mari kita mulai dengan menyelidiki apa yang
dimaksud dengan diskriminasi. Istilah ini berasal dari suatu kata latin (discernere) yaang berarti: membedakan,
memisahkan, memilah. Menelusuri etimologinya sudah menghasilkan suatu pe-tunjuk
pertama tentang artinya, tetapi belum cukup juga. Dengan membedakan begitu
saja, belum tentu menjadi diskriminasi. Dalam konteks perusahaan, dengan
diskriminasi dimaksudkan: membedakan antara berbagai karyawan karena alasan tidak relevan yang
berakar dalam prasangka. Hal itu bisa terjadi dalam menyeleksi karyawan baru,
dalam menyediakan kesempatan promosi, dalam penggajian dan sebagainya.
Kita berbicara tentang
diskiminasi, bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara berbeda, karena
alasan yang tidak relevan. Biasanya
alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhadap ras, agama,
atau jenis kelamin bersangkutan. Perusahaan menolak menerima wanita sebagai
manajer, karena menilai bahwa wanita lebih baik mengurus rumah tangga serta
mengasuh anak dan posisi manajer tidak cocok untuk dia. Dengan demikian,
diskriminasi biasanya disertai prasangka. Sebelum bertemu dengan seseorang, ia
sudah diberi cap yang tertentu. Dengan kata lain, latar belakang bagi
terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme, atau seksisme.
b. Argumentasi etika melawan
diskriminasi
Mengapa perusahaan tidak boleh mempraktekkan
diskriminasi? Apa yang menjadi dasar etika untuk menolak diskriminasi?
Argumentasi yang dikemukakan sering berbeda, karena berlandasan beberapa teori
etika yang berbeda. Disini diselidiki beberapa argumen yang disajikan oleh
utilitarisme, deontologi, dan teori keadilan
1) Dari pihak utilitarisme dikemukakan
argumen bahwa diskriminasi me-rugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalam
rangka pasar bebas menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan
berkualitas yang men-jamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik.
Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika
perusahaan memperhatiakn faktor-faktor lain selain kualitas karyawan, ia bisa
ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Argumen ini pada umumnya
bisa diterima, tetapi tidak terlepas dari keasulitan. Kalau praktek
diskriminasi dalam suatu situasi tertentu justru menguntungkan perusahaan,
apakah dengan itu diskriminasi dapat dibenarkan?. Argumen ini tidak
memperlihatkan bahwa diskriminasi merupakan suatu praktek yang selalu tidak
etis. Argumen utilitaritis yang lain tidak memfokuskan konsekuensi untuk
perusahaan-perusahaan individual, tetapi me-lihat konsekuensi untuk masyarakat
sebagai keseluruhan. Kalau rasisme, sektarianisme, atau seksisme dipraktekkan
dalam bentuk diskriminasi, akan tercipta suasana yang tidak sehat dalam
masyarakat. Suasana seperti itu tidak kondusif untuk kegiatan sosial apa pun,
termasuk juga bisnis. Karena itu diskriminasi selalu harus dianggap tidak etis.
Mungkin sudah dipahami bahwa argumen ini dalaskan atas utilitarisme aturan.
2) Deontologi menyediakan argumen lain.
Mereka menggarisbawahi bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang
didiskriminasi. Men-diskriminasikan seseorang karena warna kulit atau jenis
kelamin berarti menyamakan dia dengan satu ciri saja dan ciri itu (warna kulit
atau gender) justru tidak relevan dalam hubungan dengan pekerjaan. Jika seorang
karyawan atau calon karyawan didiskriminasikan karena agama atau keyakinan
politik, ada alasan tambahan lagi mengapa diskriminasi tidak etis. Ras, gender,
dan sebagainya tidak dipilih oleh seseorang dan tidak tergantung dari
kebebasannya. Kebebasan dalam bidang ini harus dihormati oleh semua orang lain,
juga oleh perusahaan. Jika seseorang didiskriminasi dalam hal ini, berarti
hak-hak asasi dilanggar. Dan akhirnya dengan itu martabatnya sebagai manusia
dilecehkan juga.
3) Alasan lain lagi berasal dari teori
keadilan. Praktek diskriminasi ber-tentangan dengan keadilan, khususnya
keadilan distributif atau keadilan mem-bagi. Keadilan distributif menuntut
bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, sama tidak ada
alasan khusus untuk mem-perlakukan mereka dengan cara berbeda. Jika seseorang
didiskriminasi, ia justru diperlakukan dengan cara tidak sama seperti orang
lain, karena alasan yang tidak tepat. Semua argumentasi ini bisa diterima
sebagai dasar etika untuk menolak diskriminasi. Jadi, disini tampak konfergensi
dari teori-teori etika. Tetapi semua argumen tidak sama kuat. Menurut hemat
kami, paling meyakinkan adalah argumen dari deontologi, dan terakhir argumen
dari utilitarisme. Tetapi biarpun paling lemah, argumen pertama dari
utilitarisme pun dapat dianggap sah dan memperkuat argumen-argumen lain.
c. Beberapa
masalah terkait
Tidak bisa disangkal,
penilaan terhadap diskiminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial atau
budaya dalam masyarakat. Beberapa kebiasaan dulu diterima begitu saja dan tidak
pernah dipersoalkan. Dulu wanita tidak pernah protes, kalau tidak bisa menjadi
pemimpin pemerintah atau pemimpin perusahaan, atau malah tidak boleh ikut dalam
pemilihan umum. Saat ini pula di beberapa tempat dengan kondisi sosial dan
budaya yang khusus hal-hal seperti itu tidak dipersoalkan. Tetapi di banyak
tempat, masyarakat tidak akan menerima lagi jika profesi seperti manajer di
perusahaan, perwira dalam tentara atau kepolisian, pilot, dan lain-lain secara
prinsipiil tertutup untuk wanita. Mau tidak mau perlu kita akui bahwa masalah diskriminasi
sering ditandai relativitas. Masalah yang berkaitan dengan diskriminasi tapi
harus dibedakan dengannya adalah favoritisme.
Dalam konteks perusahaan.
dengan favoritisme dimaksudkan ke-cenderungan untuk mengistimewakan orang
tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan
promosi, bonus fasilitas khusus dan sebagainya. Seperti diskriminasi,
favoritisme pun merupakan bentuk memperlakukan orang dengan cara tidak sama.
Kalau diskriminasi bersifat negatif (nenolak orang-orang tertentu), favoritisme
bersifat positif (mengutamakan orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila
perusahaan mengutumakan karyawa yang berhubungan famili, berasal dari daerah
yang sama, memeluk agama yang sama, dan seterusnya. Malah pada taraf manajamen bisa tampak gejala
favoritisme, bila para manajer semua dipilih dari lulusan perguruan tinggi yang
sama.
Di indonesia, favoritisme
masih kuat sekali, juga dalam dunia bisnis. Hal itu pasti berkaitan dengan asas
kekeluargaan yang merupakan suatu prinsip dasar dalam masyarakat kita. Sifat
khas sosial ini membawa banyak dampak positif dan antara lain mengakibatkan
bahwa solidaritas tidak merupakan kata hampa. Jika seseorang terkena musibah,
dalam masyarakat kita ia masih dapat mengandalkan bantuan dan dukungan dari
saudara, kenalan, atau tetangga. Favoritisme yang terlalu tebal bertentangan
juga dengan manajemen yang baik. Dalam manajemen personalia, suatu prinsip
pokok adalah the right person in the right place. Suatu organisasi atau
perusahaan bisa maju jika fungsi-fungsi pimpinan atau keahlian diisi oleh
mereka yang paling berkualitas.
Untuk menanggulangi akibat
diskriminasi dulu, kini lebih banyak dipakai istilah affirmative action, ”aksi afirmatif”.
Kalau kita sepakat bahwa diskriminasi selalu tidak etis, sulit kita bicara
tentang diskriminasi terbalik atau diskriminasi positif sebagai upaya untuk
menghilangkan diskriminasi. Melalui aksi affirmatif orang mencoba mengatasi
atau mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya didiskriminasi.
Alasan-alasan moral untuk aksi afirmatif itu sekarang ramai diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa
aksi afirmatif wajib dilakukan. Dasar etika adalah keadilan kompensatoris. Golongan yang dulu
didiskriminasi, dengan itu sangat dirugikan dan sekarang kerugian itu harus
diperbaiki. Kesulitan dengan argumen ini adalah bahwa menurut keadilan
kompensatoris harus diberikan ganti rugi oleh pihak yang mengakibatkan kerugian
kepada pihak yang dirugikan. Tetapi dalam hal diskriminasi, sulit untuk
menerapkan keadilan kompensatoris, karena justru mereka yang dulu dirugikan
sekarang tidak dapat diberi kompensasi lagi dan juga tidak begitu jelas siapa
yang dulu mengakibatkan kerugian, sedangkan menurut keadilan kompensatoris
ganti rugi harus diberikan oleh pihak yang mengakibatkan kerugian. Ada pendapat
lain yang menolak aksi afirmatif. Mereka menekankan bahwa kebijakan seperti itu
akan menimbulkan diskriminasi baru. Disamping itu, kebijakan serupa itu akan
mengakibatkan keresahan dan frustasi yang tidak perlu dalam masyarakat.
2.2.2 Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja
a.
Beberapa aspek keselamatan kerja
Sebagaimana dilakukan, di
sini kita pun membahas keselamatan dan kesehatan kerja bersama-sama. Tetapi
walaupun pasti ada hubungan erat antara kesehatan dan keselamatan kerja, ada
alasan juga untuk membedakan dua masalah itu. Keselamatan kerja bisa terwujud
bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja adalah aman, kalau bebas dari
resiko terjadinya kecelakaan yang meng-akibatkan si pekerja cedera bahkan mati.
Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat.
Tempat kerja bisa dianggap sehat, kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan
kesehatan atau penyakit sebagi akibat kondisi kurang baik di tempat kerja.
Di seluruh dunia terjadi
banyak kecelakaan di tempat kerja. Tidak dapat diragukan, hal itu merupakan
akibat langsung dari acara produksi yang disebut distribusi dan penggunaan
teknologi canggih. Menurut National
Institute of Occupational Safety and Health, di Amerika serikat setiap hari
rata-rata 32 orang tewas di tempat kerja dan 5500 orang mengalami cedera yang mengakibatkan mereka tidak bias
bekerja. Biaya finansial diperkirakan 48 milyar dollar setiap tahun untuk
kompensasi para korban dan jauh lebih banyak lagi untuk pembayaran jaminan
sosial dan perawatan medis. Mau tidak mau, hal itu akan tercemin dalam harga
yang lebih tinggi untuk banyak produk dan jasa. Di Indonesia masalah
keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan
mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).
Ada aneka macam kecelakaan
kerja. Yang minta banyak korban adalah kecelakaan industri di pabrik-pabrik
atau tempat industri lain: tangki meledak, pekerja kena mesin, perusakan mata
bagi montir las, dll. Sering terjadi kecelakaan yang sebetulnya tidak perlu
terjadi, jika peraturan keselamatan di terapkan dengan konsekuen. Seandainya
dilaksanakan peraturan keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk pengaman, helm
pengaman, dan sebagainya, banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan. Kalau
kecelakaan kerja hampir selalu terjadi secara mendadak dan langsung
mengakibatkan kerugiannya, maka occupational
diseases atau penyakit akibat pekerjaan baru tampak sesudah si karyawan
bekerja cukup lama. Selalu sudah diketahui bahwa beberapa macam pekerjaan
mempunyai faktor risiko khusus untuk kesehatan si karyawan. Karena penyakit
yang disebabkan pekerjaan berkembang perlahan-lahan dan baru menyatakan diri
sesudah periode cukup lama, di sini tanggung jawab perusahaan tidak selalu
jelas. Ini perbedaan besar dengan kecelakaan di tempat kerja yang langsung
memperlihatkan efeknya dan karena itu hubungan dengan pekerjaan tidak bisa
diragukan.
b.
Pertimbangan etika
Hampir semua negara modern
mempunyai peraturan hukum guna melindungi keselamatan dan kesehatan kaum
pekerja. Keadaan di Amerika Serikat yang secara singkat dilukiskan tadi,
merupakan satu contoh saja. Dalam hal ini memang perlu dicatat bahwa paraturan
hukum itu di semua negara belum tentu sama dan belum tentu memuaskan. Tetapi
terlepas dari adanya peraturan hukum, majikan disini juga mempunyai kewajiban
moral. Peraturan hukum yang ada dilatarbelakangi alasan-alasan etika dan kalau
dalam suatu situasi tertentu peraturan hukum belum cukup melindungi para
pekerja, para majikan tidak bebas dari kewajiban tetapi terikat dengan
alasan-alasan etika. Di sini kita membahas segi etika dari masalah kaum
pekerja.
Tiga dasar etika bagi
kewajiban perusahaan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerja
akan dikemukakan sebagai berikut.
Ø Ada yang mencari dasar itu dalam hak si
pekerja. Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau
hak ini belum meyakinkan, kita bisa menunjuk lagi kepada hak setiap manusia
untuk tidak dirugikan dan akhirnya kepada hak untuk hidup. Hak terakhir ini
merupakan hak dasar., dalam arti: syarat untuk hak-hak lainnya. Kondisi kerja
yang berbahaya bisa mengancam jiwa pekerja. Mereka berhak bahwa hal itu tidak
sampai terjadi.
Ø Ada pengarang lain yang menemukan dasar
itu dalam deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia selalu
harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana
belaka. Jika keselamatan dan kesehatan kerja dibahayakan, maka itu berarti
bahwa perusahaan memperbudak para pekerja. Mereka dikorbankan demi tercapainya
tujuan perusahaan, yaitu keuntungan ekonomis.
Ø Kemungkinan lain lagi adalah menunjukkan
dasar itu dengan suatu argumentasi utiliaristis. Bisa diperlihatkan bahwa
tempat kerja yang aman dan sehat paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri,
khususnya bagi ekonomi negara. Dengan kata lain, kewajiban ini sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat
sendiri dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar, jika proses
produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat. Dapat dipahami, bila
pikiran ini ditemukan dalam kalangan pemerintah. Rupanya argumentasi ini secara
khusus mendorong munculnya Occupational
Safety and Health Act di Amerika Serikat.
Semua argumentasi ini sah
dan memperkuat satu sama lain dalam menyediakan dasar etika bagi kewajiban
perusahaan entuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya.
Namun demikian, pimpinan perusahaan sering membela diri terhadap tuduhan bahwa
mereka kurang memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja dengan dua
pertimbangan: (1) kematian atau kerugian si pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan pimpinan perusahaan,
dan (2) si pekerja menerima resiko kerja dengan
sukarela.
Mari kita memeriksa lebih
lanjut dua argumen ini. Argumen pertama adalah bahwa perusahaan atau pimpinan
perusahaan tidak boleh dianggap sebagai penyebab langsung dari kecelakan di tempat
kerja. Untuk itu ada dua alasan. Pertama, kecelakaan kerja pada umumnya
disebabkan oleh banyak faktor sekaligus, termasuk juga perbuatan para pekerja
itu sendiri. Jika ada kombinasi faktor seperti itu, sulitlah untuk menunjukkan
pimpinan perusahaan sebagai satu-satunya instansi yang bertanggung jawab.
Alasan kedua adalah bahwa kemungkinan terjadinya kerugian untuk pekerja
kadang-kadang tidak bisa dihindarkan. Kalau kita mau menghindarkan segala macam
risiko, kita harus menghentikan produksi. Bahan yang tidak begitu dibutuhkan
bisa dihentikan produksinya, tetapi langkah radikal itu lebih sulit diambil
tentang bahan yang dibutuhkan masyarakat.
Argumen kedua menekankan
bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi dengan sukarela menerima resiko. Hal
yang sama terjadi juga dalam banyak situasi lain. Tempat tinggal dekat gunung berapi
atau daerah rawan gempa bumi selalu mengandung resiko tertentu. Kebiasaan
merokok atau minum minuman beralkohol membawa resiko juga, tetapi banyak orang
tidak menghentikan kebiasaan tersebut karena alasan itu. Tentang argumen kedua
perlu diakui bahwa kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan
moralitas pekerjaan be-risiko. Si pekerja sendiri harus mengambil risiko dengan
sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini,
beberapa syarat perlu dipenuhi dulu.
1. Harus tersedia pekerjaan alternatif,
supaya si pekerja dapat memilih pekerjaan lain tanpa resiko khusus, walapun
barangkali dengan pembayaran lebih rendah. Kalau pilihannya adalah pekerjaan
beresiko atau menganggur, ia tidak sungguh-sungguh bebas. Kalau begitu, ia
terpaksa mengambil pekerjaan itu.
2. Supaya pekerja dapat menganbil keputusan
bebas, ia harus dideri informasi tentang resiko yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Supaya dapat men-jalankan kebebasannya sebagaimana semestinya, si
pekerja harus mengetahui informasi itu pada saat ia mengambil keputusan mau
menerima pekerjaan itu atau tidak.
3. Perusahaan selalu wajib berupaya, agar
resiko bagi si pekerja senimimal mungkin. Dalam hal ini perusahaan harus melaksanakan
semua peraturan ke-amanan yang ditetapkan oleh pemerintah atau instansi
berwenang lainnya. Kalau hal itu belum cukup untuk situasinya sendiri,
perusahaan harus mem-buat peraturan khusus (topi pelindung, pakaian khusus, dan
sebagainya) dan senantiasa mengawasi pelaksanaannya.
c.
Dua masalah khusus
Diantara banyak
masalah yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, dua persoalan
boleh disebut lagi. Pertama, akan dibicarakan pertanyaan apakah pekerja berhak
menolak tugas-tugas yang berbahaya. Dan kedua, akan dipelajari segi etis dari ”
risiko reproduktif” atau risiko untuk keturunan si pekerja. Apakah pekerja
boleh menolak perintah atasan untuk melaksanakan suatu tugas yang dianggap
terlalu berbahaya? Jadi, di sini dimaksudkan pekerja yang sudah bekerja untuk
suatu perusahaan, bukan calon pekerja yang baru mempertimbangkan mau masuk
kerja. Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus mengacu ke kewajiban karyawan
untuk menaati semua perintah yang wajar dari atasannya. Masalah kedua menarik,
karena kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja
bagi dirinya sendiri, melainkan bagi keturunannya. Dengan kata lain, pekerjaan
bisa membawa ’risiko reproduktif”, atau dalam arti bahwa pekerja menjadi
infertil, atau dalam arti bahwa pekerja wanita melahirkan bayi yang mempunyai
kelainan akibat kondisi kerja ibunya. Hal itu terjadi dalam beberapa industri
kimia. Pekerja wanita yang terus nenerus berkontak dengan bahan kimia yang
berbahaya, bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan bayi
cacat.
2.2.3 Kewajiban
memberi gaji yang adil
Salah satu motif yang penting
adalah: untuk mengembangkan diri. Karl Marx sudah menekankan bahwa manusia
bekerja untuk menjadi manusia sungguh-sungguh, disamping untuk
menghumanisasikan alam. Memang benar, bekerja adalah suatu cara penting untuk
mengembangkan diri. Setiap manusia mempunyai bakat dan potensi tertentu. Karena
itu pula pekerjaan harus disertai kepuasan kerja. Hal itu tercapai, bila
seseorang merasa bangga dengan hasil kerjanya dan bila orang lain menghargai
pekerjaannya. Suatu cara penting untuk mengungkapkan penghargaan itu adalah
imbalan yang pantas. Dalam hal ini gaji atau upah berkaitan erat dengan
kepuasan kerja.
Motif lain untuk bekerja adalah
memberi sumbangsih yang berguna kepada pembangunan masyarakat sebagai
keseluruhan. Kita tidak pernah bekerja untuk diri kita sendiri, tetapi dengan bekerja
kita memajukan manfaat orang lain, entah kelompok terbatas, atu malah
masyarakat luas. Menurut kodratnya, pekerjaan adalah suatu kegiatan sosial yang
dijalankan bersam orang lain dan demimanfaat orang lain. Motif paling mendasar
untuk bekerja adalah mendapat imbalan yang memungkinkan kita untuk hidup dan
menghidupu keluarga. Akhirnya orang bekerja untuk ”mencari nafkah”. Dalam
gerakan-gerakan sosial di zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok
perjuangan utama. Sampai sekarang hampir di segala penjuru dunia masih terjadi
pemogokan kerja dan unjuk rasa demi menuntut upah lebih baik. Juga negara yang
baru membangun industrinya, seperti Indonesia, tidak luput dari gejala sosial
itu.
a.
Menurut
keadilan distributif
Gaji atau upah merupakan kasus jelas
yang menuntut pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan distributif. Sebagaimana
tentang peranan dan kedudukan kaum pekerja pada umunya, tentang pertanyaan ini
pun ada dua pandangan yang sangat berbeda, yaitu liberalisme dan sosialisme.
Pandangan yang dilatarbelakangi konsepsi liberalistis berpendapat bahwa upah
dan gaji dapat dianggap adil, bila merupakan imbalan untuk prestasi. Pandangan
ini melihat masalahnya terutama dari sudut pandang perusahaan. Dari pihak
majikan, pertimbangan utama untuk menentukan besar kecilnya upah atau gaji
adalah prestasi pekerja. Yang berprestasi tinggi mendapat gaji besar, yang
berprestasi rendah hanya diberi gaji setimpal. Pandangan sosialistis
dikemukakan dari sudut pandang pekerja. Mereka menekankan bahwa gaji yang adil,
bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta keluarga. Bisa saja prestasi
dua pekerja sama, tapi yang satu mempunyai kebutuhan lebih banyak karena sudah
berkeluarga sedangkan yang lain belum, atau yang satu mempunyai keluarga besar
sedangkan keluarga dari yang lain kecil saja. Tetap adil, bila mereka diberi
gaji yang berbeda, asalkan berbedaan itu didasarkan atas kebutuhan. Disamping
itu sosialisme berpendapat pula bahwa pekerja berhak mengambil bagian dalam
laba perusahaan. Karl Marx sudah menegaskan modal itu dapat produktif; yang
produktif hanya pekerjaan yang ditambah pada modal. Faktor pekerjaan itu
seluruhnya berasal dari kaum pekerja. Karena itu keadilan menuntut, agar
pekerja juga diberikan sebagian dari laba. Jika pekerja tidak boleh mengambil
bagian dalam laba perusahaan, hal itu berarti eksploitasi terhadap tenaga
kerjanya.
Di kebanyakan negara modern, dilema
antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan lagi. Tanpa
banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji atau upah yang
adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperanan. Karena prestasi si
pekerja dan manfaat bagi perusahaan dinilai begitu penting, dengan sendirinya
pekerjaan mendapat nilai pasar dalam ekonomi pasar bebas dan tidak bisa
dihindarkan bahwa gaji atau upah ditentukan juga oleh mekanisme pasar. Prestasi
dan kebutuhan sudah kita kenal sebagai dua diantara enam prinsip material bagi
keadilan distributif. Dan dua prinsip ini memang paling penting dalam
menentukan gaji yang adil. Dalam produktivitas prestasi karyawan jelas tidak
sama dan hal itu antara lain diekspresikan dalam perbedaan besarnya gaji.
Tetapi perbedaan itu tidak boleh diluar proporsi, karena produktivitas akhirnya
dihasilkan oleh semua karyawan.
Prinsip-prinsip ”hak”, ”usaha”, dan
”kontribusi kepada masyarakat” ikut serta pula
dalam menentukan gaji yang adil, tetapi hanya melengkapi dua prinsip
pokok ”prestasi”dan”kebutuhan”. Dalam Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia masalah yang adil
disinggung juga. Yang menarik adalah bahwa disini ditunjuk hanya prinsip ”kebutuhan”, biarpun kata itu sendiri
tidak dipergunakan. Dalam pasal 23, butir 2 ditegaskan: ”Setiap orang yang
bekerja berhak atas imbalan yang adil dan memadai, yang menjamin bagi dia dan
keluarganya suatu kehidupan yang layak bagi martabat manusia, dan dilengkapi
kalau perlu dengan cara perlindungan sosial lainnya. Disini faktor prestasi
tidak disebut dan tidak perlu disebut. Karena otomatis akan diikutsertakan
dalam menentukan gaji yang adil. HAM selalu berkaitan dengan sesuatu yang
bermasalah, yang tidak dengan sendirinya dilaksanakan. Demikian juga disini, perumusan
hak pekerja atas imbalan yang adil ini merupakan suatu reaksi atas eksploitasi
pekerja dalam kapitalisme liberal dulu.
Adil tidaknya gaji menjadi lebih
kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus
seperti rumah, kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga
sebagai sebagian dari imbalan kerja. Dan lebih penting lagi adalah asuransi
kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun, dan sebagainya. Gaji yang relatif
rendah bisa nencukupi juga, asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik
serta fasilitas-fasilitas lain.
b.
Enam faktor
khusus
Beberapa pengarang menjajaki
kemungkinan untuk memperoleh kriteria lebih konkret lagi, guna menetapkan gaji
atau upah yang bisa dinilai adil . Dalam hal ini usulan dari Thomas Garrett dan
Richard. Klonoski banyak diikuti. Supaya gaji atau upah itu adil atau fair, menurut mereka enam kriteria
berikut ini pantas dipertimbangkan sebagai pegangan :
- peraturan hukum;
- upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu;
- kemampuan perusahaan;
- sifat khusus pekerjaan tertentu;
- perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan;
- perundingan upah/gaji yang fair;
1) Peraturan hukum. Salah satu pertimbangan
pertama untuk menentukan gaji/upah yang adil adalah kesesuaiannya dengan hukum
yang berlaku. Disini yang paling penting adalah ketentuan kuhum tentang upah
minimum. Hampir semua negara modern sekarang mengenal sistem upah minimum. Ini
dapat dilihat sebagai salah satu hasil perjuangan sosialisme dalam usahanya mem-perbaiki
nasib kaum buruh. Adnya upah minimum berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria
untuk menentukan upah. Sekaligus pandangan liberalistis di sini harus mengalah
(untuk sebagian): upah atau gaji tidak boleh ditentukan semata-mata oleh
mekanisme pasar kerja. Walaupun ada pekerja yang bersedia bekerja denga imbalan
di bawah upah minimum, harus dianggap tidak etis, bila pengusaha memanfaatkan
kesempatan itu.
2) Upah yang lazim dalam sektor
industri tertentu atau daerah tertentu. Dalam semua
sektor industri, gaji atau upah tidak sama. Karena itu rupanya suatu kriteria
yang baik adalah; gaji atau upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberikan
dalam sektor industri bersangkutan. Tetapi kriteria ini mengandaikan bahwa
keadaan disektor itu cukup mantap. Karena itu mungkin lebih sulit menerapkan
kriteria ini di negara-negara yang baru mulai mengembangkan industrinya. Karena
biaya hidup di semua tempat tidak sama, bisa diterima saja bila upah atau gaji
tidak sama pula di semua tempat. Di kota besar umumnya biaya hidup lebih tinggi
ari pada di kotakecil atau pedesaan. Perbedaan itu tidak bertentangan dengan
keadilan, karena gaji yang sama belum tentu menjamin daya beli yang sama.
3) Kemampuan perusahaan. Perusahaan yang
kuat menghasilkan laba besar, harus memberi gaji lebih besar pula dari pada
perusahaan yang mempunyai marjin laba yang lebih kecil. Pemberian bonus ekstra
juga pada akhir tahun, sesuai dengan desarnya laba, merupakan kebijakan yang
sangat baik. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak karyawan
mengambil bagian dalam laba. Jika perusahaan mengalami kesulitan finansial,
pantaslah para karyawan mengurungkan niatnya untuk minta kenaikan gaji.
4) Sifat khusus pekerjaan tertentu.
Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalankan oleh orang yang mendapat
pendidikan atau pelatihan khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat
terspesialisasi. Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji
lebih tinggi. Hal yang sama dapat dikatakan juga tentang pekerjaan yang
menuntut pengalaman lebih besar atau pekerjaan yang mengandung resiko tertentu
untuk kesehatan atau keselamatan si pekerja. Dalam kasus itu keadilan tidak
dilanggar, jika orang bersangkutan dibayar upah atau gaji lebih tinggi daripada
orang lain yang tidak mengalami kondisi tersebut.
5) Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam
perusahaan. Kalau pekerja tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut
pengalaman lebih lama atau mengandung risiko tertentu, maka gaji atau upah
harus sama. Perusahaan yang mempunyai sistem penggajian yang fair, akan membayar gaji atau upah yang
kira-kira sama untuk pekerjaan yang sejenis. Disini
berlaku prinsip ”equal pay for equal work”. Kalau tidak,
perusahaan mempraktekan diskriminasi. Di banyak negara diskriminasi ini masih
berlangsung dalam penggajian wanita. Tentu saja, perbedaan penggajian bisa
disebabkan karena seseorang (pria) diakui sebagai kepala keluarga yang
menghidupi seluruh keluarga, sedangkan dalam keluarga lain suami-istri
dua-duanya bekerja. Kepala keluarga itu mendapat gaji lebih besar karena alasan
kebutuhan. Tetapi, kalau begitu, pada prinsipnya wanita seharusnya dapat diakui
juga sebagai kepala keluarga.
6) Perundingan gaji/upah yang fair. Mungkin
di Indonesia kriteria ini masih terasa asing, karena posisi organisasi pekerja
dan karyawan masih terlalu lemah. Tetapi di Negara-negara industri maju, sejarah
telah membuktikan bahwa perundingan langsung antara perusahaan dan para
karyawan merupakan cara yang ampuh untuk mencapai upah dan gaji yang fair. Cara ini memberi jaminan lebih
besar untuk mewujudkan keadilan daripada gaji atau upah yang ditentukan sepihak.
Melalui perundingan, sekaligus dapat diatur hal-hal lain yang penting juga
untuk kaum pekerja, seperti jaminan kesehatan, jumlah jam kerja, dan lain-lain.
Tentu saja perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak
perusahaan. Cara itu berguna untuk memperkuat stabilitas ekonomi, dengan
menyadari bahwa aksi unjuk rasa dan mogok kerja akan merugikan semua pihak.
c.
Senioritas dan
imbalan rahasia
Akhirnya
perlu kita bicarakan lagi dua masalah khusus yang bisa timbul dalam hubungan dengan
topik penggajian ini. Yang pertama adalah senioritas sebagai kriteria untuk
menentukan gaji. Maksudnya, orang yang bekerja lebih lama pada suatu perusahaan
atau instansi mendapat gaji lebih tinggi. Di banyak
nergara cara ini diikuti, terutama untuk
profesi tertentu seperti dalam dunia
pendidikan (guru atau dosen). Kebiasaan ini menyimpang dari prinsip ”pembayaran
gaji yang sama untuk pekerja yang sama”. Sebab, dalam hal ini dua orang
melakukan pekerjaan yang sama tapi mempunyai senioritas berbeda, justru tidak
digaji dengan cara yang sama. Pertimbangannya adalah bahwa gaji lebih tinggi
yang berdasarkan senioritas itu merupakan semacam penghargaan bagi kesetiaan si
karyawan terhadap perusahaan atau profesinya. Tambahan pula, karyawan senior
memiliki pengalaman lebih banyak dan hal itu pun sering membuat dia menjadi
tenaga kerja yang berharga. Perlu kita sadari bahwa kebiasaan ini kadang-kadang
bisa menimbulkan segi negatif juga. Karena karyawan senior adalah tenaga lebih
mahal, perusahaan sering cenderung untuk mem-PHK justru mereka, dalam keadaan
ekonomi yang sulit ketika jumlah tenaga kerja harus dilangsingkan. Dalam
keadaan krisis seperti itu biaya penggajian akan menjadi faktor yang penting. Di samping itu, dalam sistem
ini para karyawan senior yang kehilangan pekerjaan akan menghadapi kesulitan
ekstra besar untuk memperoleh pekerjaan baru.
Jika usia turut menentukan tingginya gaji, bagi parusahaan lebih
menguntungkan menerima tenaga muda.
Ada yang berpendapat bahwa
senioritas yang secara otomatis diikutsertakan dalam menentukan tingginya gaji,
sudah tidak pantas pada zaman sekarang. Menurut mereka, hal itu masih merupakan
sisa-sisa dari zaman dulu ketika orang dihargai hanya karena senioritasnya (di luar pertimbangan lain seperti
pengalaman, dan sebagainya). Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek
pembayaran khusus atau kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman
sekerja. Yang dimaksudkan di sini memang dekat dengan sistem pemberian bonus
dan insentif, tapi bedanya adalah bahwa pembayaran ini berlangsung dalam
suasana rahasia, sehingga hanya yang bersangkutan yang diberi tahu. Bagi para
manajer, cara ini mudah untuk diterapkan karena fleksibilitasnya. Kenaikan gaji
atau bonus dimaksudkan sebagai stimulans bagi semua karyawan. Fungsi ini sulit
untuk diwujudkan kalau karyawan satu tidak tahu bahwa karyawan lain mendapat
kenaikan. Supaya mencapai tujuan motivasionalnya, lebih baik semua karyawan
tahu tentang adanya kenaikan gaji atau bonus dan serentak juga tentang kriteria
yang dipakai. Hanya dengan demikian karyawan lain pula akan berusaha mendapat
kenaikan sejenis. Di sini bisa ditambah lagi alasan dari segi etika. Rupanya
juga tidak fair, kalau orang tidak
diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat kenaikan
gaji atau bonus. Supaya sungguh-sungguh fair,
sistemnya harus terbuka. Suasana terbuka membberi kesempatan untuk mengadakan
kontrol sosial. Kalau terjadi dalam keadaan sembunyi-sembunyi, bisa saja
pembayaran ekstra diberikan karena alasan tidak obyektif, seperti orangnya
masih berhubungan famili atau berasal dari kampung yang sama, dan sebagainya.
Apalagi, cara ini bisa merusak suasana kerja, karena para karyawan mudah
bersikap curiga yang satu terhadap yang lain.
2.2.4
Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena
Dalam lingkungan perusahaan,
pemberhentian karyawan sering tidak bisa dihindarkan. Jika kita terjun dalam
sistem bisnis modern, mau tidak mau hal seperti itu kadang-kadang harus
terjadi. Such is life, orang inggris bilang.
Tetapi perlu kita akui juga, kejadian seperti itu termasuk masalah paling
sensitif, karena nasib hidup karyawan berserta keluarganya dipertaruhkan secara
langsung. Di samping itu harga diri si pekerja terluka juga. Cara menangani
masalah ini bisa menunjukkan mutu etis para majikan.
Terutama ada tiga alasan mengapa
perusahaan akan memberhentikan karyawan; alasan internal perusahaan
(restrurasi, otomatisasi, merger
dengan perusahaan lain), alasan eksternal (konyungtur, resesi ekonomi), dan
kesalahan karyawan. Pada kenyataannya alasan pertama dan kedua kerap kali
terkait. Dalam bidang ini kebebasan pengusaha sangat terbatas, dan dimana kita
tidak bebas, kita tidak ada pilihan untuk memberhentikan karyawan atau tidak,
mereka masih bisa mengatur cara bagaimana karyawan diberhentikan. Menurut
Garrett dan Klonoski, dengan lebih konkret kewajiban majikan dalam
menberhentikan karyawan dapat dijabarkan ke dalam tiga butir berikut ini:
1) Majikan hanya boleh memberhentikan karena
alasan yang tepat. Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis,
seperti mendesaknya pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, pimpinan
harus sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan itu. Jika para pengambil
keputusan ragu-ragu tentang tepatnya atau mendesaknya tindakan itu, mereka
harus menunda dulu keputusan itu demi mempertahankan kesempatan kerja. Jika
tindakan PHK tidak bisa dihindarkan, pimpinan mempunyai kewajiban khusus untuk
tidak mem-berhentikan para karyawan senior. Terutama karena dua alasan.
Pertama, merekalah yang berjasa dalam membuat perusahaan seperti adanya dan
karenanya perusahaan berutang budi kepada mereka. Walaupun tidak jarang dari
segi ekonomis lebih menguntungkan untuk memberhentikan karyawan senior, dari
segi keadilan perusahaan harus mempertimbangkan faktor jasa itu. Kedua,
karyawan senior terutama akan mengalami kesulitan umtuk mendapat pekerjaan
baru, sedangkan karyawan muda lebih gampang ditampung oleh perusahaan lain.
Kalau karyawan diberhentikan karena
kesalahannya, keputusan itu seluruhnya tergantung pada kemauan si majikan.
Tetapi majikan boleh bengambil keputusan keras itu, asalkan alasanya tepat.
Alasan itu tidak tepat, bila tindakan PHK itu didasarkan atas faktor subjektif
saja, yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di perusahaan. Alasan itu harus
didasarkan atas faktor obyektif, seperti misalnya pelanggaran. Karyawan malas
bukan saja merugikan perusahaan karena banyak tugas tidak selesai dengan
semestinya, ia mempengaruhi juga karyawan lain sehingga seluruh suasana kerja
menjadi tidak sehat dan tidak efisien. Tetapi ketegasan manajer dalam hal ini
juga tidak boleh ekstrem. Jika seorang karyawan bersalah, sebaiknya ia diberi
peringatan dulu, sebelum ia diberhentikan dengan definitif. Dan di sini juga
berlaku karyawan senior sedapat mungkin harus dipertahankan karena jasanya di
masa lampau. Kesalahannya harus sungguh-sungguh besar dan tidak ada jalan
keluar lain (seperti dipindahkan ke bagian lain), baru karyawan senior boleh
diberhentikan. Karyawan muda lebih cepat boleh diberhentikan, kalau bersalah.
2) Majikan harus berpegang terhadap prosedur
yang semestinya. Dalam hal ini peraturan hukum (kalau ada) harus dipegang
dengan seksama. Di samping itu perusahaan besar sebaiknya mempunyai aturan-aturan internal yang
menjamin prosedur pemberhentian yang
jelas dan terbuka. Hal itu terutama memdesak, bila karyawan dipecat
karena kesalahanya. Di satu pihak prosedur yang terbuka, berdasarkan aturan
yang diketahui semua karyawan, tidak akan menggoncangkan kepercayaan karyawan
pada perusahaannya dan tidak akan merusak iklim kerja. Sebab, tindakan
pemberhentian selalu merupakan kejadian yang sensitif dan solidaritas di antara
para karyawan pada umumnya cukup besar. Jika prosedur pemberhentian berlangsung
secara jelas, bukan saja karyawan yang dihukum tapi semua karyawan lain juga
lebih mudah menerima tindakan itu sebagai fair
dan tidak akan muncul efek negatif untuk produktivitas di perusahaan.
Dari perusahaan kecil tidak bisa di
harapkan bahwa mereka memiliki aturan-aturan yang rinci tentang pemberhentian
karyawan yang bersalah. Dalam kasus semacam itu, pimpinan perusahaan harus
berpegang pada kearifan pribadi, selain pada peraturan hukum atau peraturan
organisasi majikan, atau sebagainya. Tetapi untuk semua perusahaan besar mau
pun kecil berlaku prinsip-prinsip berikut ini, agar prosedur memperhatikan bisa
dianggap fair :
ü Tuduhan
terhadap karyawan harus dirumuskan dengan jelas dan didukung oleh pembuktian
yang meyakinkan.
ü Karyawan harus
diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan orang yang menuduhnya, untuk
membantah tuduhan dan memperlihatkan bahwa pembuktiannya tidak tahan uji, kalau
ia memang tidak bersalah.
ü Harus tersedia
kemungkinan untuk naik banding dalam salah satu bentuk, sehingga keputusan
terakhir diambil oleh orang atau instansi yang tidak secara langsung
berhubungan dengan karyawan bersangkutan.
3) Majikan harus membatasi akibat negatif bagi
karyawan sampai seminimal mungkin. Dibanyak negara, kepada karyawan yang
diberhentikan karena kesalahannya pun, menurut peraturan hukum harus diberikan
pesangon. Hal itu tidak enak bagi majikan bersangkutan, tetapi tidak dapat
dinilai kurang adil, karena karyawan yang bersalah pun tidak boleh dibiarkan
terlantar. Di negara kesejahteraan (welfare state) orang seperti itu pun
memiliki hak atas tunjangan penganggur. Tetapi kewajiban untuk
meminimalisasikan akibat PHK, berlaku dengan lebih mendesak lagi bagi karyawan
yang diberhentikan karena alasan ekonomis.
Satu cara yang banyak membantu untuk
meringankan efek-efek buruk dari PHK adalah memberitahukan prospek itu kepada
karyawan beberapa waktu sebelumnya. Dalam kasus restrukturasi atau pelangsingan
perusahaan, hal itu sering kali dimungkinkan, asalkan perusahan bersedia
mengukuti kebijakan yang terbuka. Dengan demikian diberikan kesempatan kepada karyawan
untuk memcari pekerjaan lain. Malah bisa ditanyakan apakah dalam kontrak kerja
tidak harus dijamin periode pemberitahuan semacam itu, sebagaimana dalam
kontrak kerja itu karyawan juga harus memberitahukan suatu waktu sebelumnya,
bila ia ingin meninggalkan perusahaan.
2.3 Beberapa Kasus
2.3.1 Bank
Daiwa di Amerika Serikat
Pada tahun 1995 orang Jepang
Toshihide Iguchi, umur 44 tahun, dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh
pengadilan Amerika serikat karena penipuan dan pemalsuan dokumen, disamping itu
harus membayar 2,6 juta dollar Amerika sebagai denda dan ganti rugi. Dengan
bond trading di cabang Bank Daiwa di New York ia menghilangkan 1,1 milyar
dollar Amerika milik perusahaannya. Seluruhnya ia melakukan lebih dari 30.000
transaksi tanpa izin dan ia dapat merahasiakan tingkah lakunya selama 12 tahun.
Tentu ia hanya bisa melakukan semuanya ini karena banyak kelemahan dalam
kontrol dan manajemen di bank Jepang ini. Oleh karena itu Bank Daiwa dilarang
beroperasi lagi di pasaran finansial Amerika serikat.
2.3.2 Donald
Wohlgemuth dan Goodrich
Pada tahun 1960-an Donald Wohlgemuth
adalah insinyur amerika serikat yang bekerja pada perusahaan Goodrich di Ohio,
perusahaan yang memproduksi bahan karet. Ia bekerja pada unit yang membuat
pakaian astronaut untuk proyek antariksa dari pemerintah Amerika dan mempunyai
akses kepada teknologi rahasia. Ia tidak puas dengan gajinya serta kondisi
kerja dan karena itu mulai berunding dengan perusahaaan International Latex,
saingan bagi Goodrich, tentang gaji dan fasilitas, jika ia masuk di sana.
International Latex pun mempunyai program pembuatan pakaian astronaut untuk
pemerintah. Pimpinan Goodrich tidak setuju dan mengajukan masalah kerja ini ke
pengadilan. Mereka berharap agar hakim melarang Wohlgemuth berpindah ke
International Latex. Pemerintah memutuskan bahwa Goodrich tidak bisa melarang
Wohlgemuth untuk menjual ketrampilannya kepada perusahaan lain, tapi sekaligus
melarang Wohlgemuth intuk membuka informasi rahasia dari perusahaan lamanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
melakukan kegiatan operasional sehari-hari, karyawan memiliki kewajiban
terhadap perusahaan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan juga memiliki kewajiban
terhadap karyawan. Ada tiga
kewajiban karyawan yang penting. Yaitu kewajiban ketaatan, kewajiban
konfidensialitas, dan kewajiban loyalitas. Selain membebani karyawan dengan
berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban
untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya
tidak melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para
karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya,
serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
Whistle
blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang
tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawakan banyak kerugian, secara
material maupun moril. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat berharga
bagi setiap perusahaan. Untuk si pelapor juga, whistle blowing adalah langkah yang diambil dengan berat hati. Ia
melakukannya semata-mata terdorong oleh hati nuraninya dan sebetulnya sangat
menyesalkan akibat negatif bagi perusahaan.
Keselamatan dan kesehatan pekerja
tidak pernah boleh dikorbankan kepada kepentingan ekonomis. Risiko memang tidak
selalu bisa dihindari, tetapi harus dibatasi sampai seminimal mungkin, walaupun
upaya itu bisa mengakibatkan biaya produksi bertambah. Selain itu si pekerja
harus menerima risiko itu dengan bebas, setelah lebih dahulu ia diinformasikan
secukupnya. Pekerja harus di beri imbalan ekstra untuk mengimbangi resiko, baik
dalam gaji langsung maupun dengan asuransi khusus. Akhirnya pekerjaan beresiko
itu hanya bisa ditolelir, jika menghasilkan produk yang bermanfaat untuk
masyarakat. Dengan cara iseng saja membiarkan resiko kerja harus dinilai tidak
etis.
Daftar Pustaka
Berten, K.
1999. Pengantar Etika Bisnis ”bab 6”.
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar