Rabu, 24 September 2014

Etika Bisnis dan CSR - Kewajiban Karyawan dan Perusahaan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Dalam materi ini akan dibahas kewajiban pada dua pihak : karyawan dan perusahaan. Kita mulai dengan menyoroti kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Lalu kita membalikkan perspektifnya dengan memfokuskan kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Tentu saja materi yang sama bisa dibahas juga dari segi hak. Kewajiban di satu pihak kerap kali (tetapi tidak selalu) sepadan dengan hak di pihak lain. Membahas secara umum kewajiban karyawan dan perusahaan mau tidak mau akan menghadapi banyak kesuliatan. Sebab, diantara karyawan terdapat banyak variasi : ada posisi dan peran yang sangat beragam. Kalau disini kita berbicara tentang karyawan, yang terutama kita maksudkan adalah manajer, dalam arti mereka yang memimpin karyawan lain, seperti misalnya kepala bagian. Alasannya, terutama merekalah yang memikul tanggungjawab dalam perusahaan, sehingga konsekuensi-konsekuensi etika tampak dengan lebih jelas. Tetapi yang berlaku bagi para manajer, mutatis mutandis bisa diterapkan juga pada semua karyawan lain.
            Masalah etis yang ditimbulkan oleh perusahaan tidak selalu sama. Pada pabrik kimia misalnya, kita menemui masalah-masalah moral yang tidak akan timbul pada kebanyakan perusahaan lain. Dalam uraian ini kita tidak memperhatikan semua perbedaan itu. Kita akan berusaha membicarakan perusahaan pada umumnya, sambil melewati semua perbedaan konkret yang ada. Yang penting disini terutama dua tipe permasalahan. Pertama, konflik antara kewajiban-kewajiban moral atau disebut juga dilema moral. Sering kali kita menghadapi dua kewajiban sekaligus. Ada alasan untuk memenuhi kewajiban satu dan ada alasan juga untuk memenuhi kewajiban kedua, tetapi tidak mungkin memenuhi kedua kewajiban itu sekaligus. Misalnya, karyawan tidak hanya mempunyai kewajiban pada perusahaan saja, tetapi mempunyai kewajiban juga pada dirinya sendiri dan keluarganya. Kedua, ada masalah etika lain yang dinilai secara berbeda oleh berbagai pihak. Ada yang mengatakan : “boleh-boleh saja, tidak apa-apa”. Ada orang lain yang beranggapan : “tidak boleh”. Orang lain lagi mengatakan : “barangkali sebaiknya tidak dilakukan, tapi pada kenyataannya semua orang melakukan hal itu”. Di tengah perbedaan ini siapa yang benar? Di sini kita menginjak grey area dalam etika atau “kawasan kelabu”, dimana kualitas etis sebuah perbuatan tidak jelas.
            Kita mempunyai kewajiban untuk selalu mengatakan yang benar dan tidak berbohong. Demikian juga ada kewajiban untuk tidak mencuri atau menipu, walaupun hal-hal seperti itu sering terjadi dalam konteks bisnis. Kita ingat saja akan penipuan dengan cek kosong atau uang palsu, penipuan dengan pembukuan ganda, dll. Di sini tidak ada masalah etis, yang ada hanyalah masalah motivasi. Orang tahu bahwa perbuatannya tidak baik, namun merasa tergoda untuk melakukannya demi keuntungan yang diperoleh dengannya. Yang berlangsung disini adalah konflik motivasional, bukan konflik kewajiban moral, karena sudah jelas apa yang seharusnya dilakukan. Motivasi merupakan soal untuk agama atau psikologi, bukan untuk etika. Dalam etika kita membatasi diri pada pertanyaan : bagaimana dapat kita mengetahui apa yang baik secara moral. Setelah hal itu diketahui, kita andaikan saja orang akan melakukannya juga.








1.2 Rumusan Masalah
1.      Apakah yang termasuk kewajiban karyawan terhadap perusahaan?
2.      Apakah yang dimaksud Whistle Blowing?
3.      Apakah yang termasuk kewajiban perusahaan terhadap karyawan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Menguraikan apa yang termasuk kewajiban karyawan terhadap perusahaan.
2.      Menjelaskan apa yang dimaksud Whistle Blowing.
3.      Menguraikan apa yang termasuk kewajiban perusahaan terhadap karyawan.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan
            Dalam melakukan kegiatan operasional sehari-hari, karyawan memiliki kewajiban terhadap perusahaan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan juga memiliki kewajiban terhadap karyawan. Ada tiga kewajiban karyawan yang penting. Yaitu kewajiban ketaatan, kewajiban konfidensialitas, dan kewajiban loyalitas. Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya, serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
2.1.1 Tiga kewajiban karyawan yang penting
            Dari uraian di atas sudah menjelaskan bahwa disini tidak boleh diharapkan sebuah daftar lengkap yang meliputi semua kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Kita hanya mempelajari tiga kewajiban yang menimbulkan masalah khusus, yaitu kewajiban ketaatan, konfidensialitas, dan loyalitas.
a.      Kewajiban ketaatan
            Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia bekerja di situ. Sebagai karyawan ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang di berikan oleh atasannya. Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Kedua, karyawan tidak wajib mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Yang dimaksudkan dengan perintah yang tidak wajar adalah perintah yang tidak diberikan demi kepentingan perusahaan. Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.
b.      Kewajiban konfidensialitas
            Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat sangat rahasia. Banyak profesi mempunyai suatu kewajiban konfidensialitas, khususnya profesi yang bertujuan membantu sesama manusia. Dalam konteks perusahaan juga konfidensialitas bisa memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja dia mempunyai akses kepada informasi rahasia. Kewajiban konfidensialitas tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan, tetapi berlangsung terus setelah ia pindah kerja.
c.       Kewajiban loyalitas
            Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan, artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersaing dengan kepentingan perusahaan.
2.1.2 Melaporkan kesalahan perusahaan
Dalam literatur etika bisnis bahasa inggris masalah ini dikenal sebagai whistle blowing (meniup peluit) dalam bahasa inggris  istilah ini sering digunakan dalam arti kiasan: membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak. Dalam etika, whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi: menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, terjadi whistle blowing, bila seorang pegawai negeri memberitahukan kepada pers tentang praktek-praktek korupsi dari atasannya. Di sini kita membatasi dari pada whistle blowing dalam rangka bisnis, sehingga artinya menjadi: melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh  sebuah perusahaan kepada dunia luar, seperti instansi pemerintah atau pers. Perlu ditekankan bahwa kita hanya berbicara tentang whistle blowing, kalau dilakukan oleh karyawan tentang perusahaan dimana ia bekerja. Jika pelaporan kesalahan dilakukan oleh orang dari luar perusahaan kita tidak berbicara tentang whistle blowing seperti dimaksudkan di sini. Karena bekerja pada suatu perusahaan, seorang karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai perusahaannya yang bersifat rahasia.
            Perlu digaris bawahi lagi bahwa dengan whistle blowing dimaksudkan pelaporan kesalahan perusahaan, bukan pelaporan kesalahan pribadi seseorang dalam perusahaan. Pelaporan kesalahaan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat berdeda. Di satu pihak seorang whistle blowing bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menepatkan nilai moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Sebab, dengan melaporkan kesalahan perusahaan seorang karyawan bersedia mengambil resiko besar. Karier selanjutnya dalam perusahaan bisa terhambat, bahkan di pecat. Di lain pihak seorang pelapor kesalahan perusahaan sering di cap sebagai pengkhianat, karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan. Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi. Dengan sedikit variasi, syarat-syarat ini ditemukan pada banyak pengarang.
a.      Kesalahan perusahaan harus besar.
            Jika kesalahan perusahaan kecil, misalnya hanya membayar pajak sedikit kurang dari kewajibannya, hak itu tidak pantas dilaporkan. Selama kesalahan kecil, loyalitas perusahaan tetap harus diutamakan. Norma Bowie dan Ronald Duska menyebut tiga kemungkinan kesalahan dianggap besar : 1) Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan kerugian yang tidak perlu untuk pihak ketiga (selain perusahaan dan si pelapor). 2) Kesalahan bisa dianggap besar juga, bila terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. 3) Akhirnya, kesalahan dinilai besar pula, bila dilakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan perusahaan.
b.      Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar.
            Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan betul oleh si pelapor. Tidak boleh terjadi, orang melaporkan sesuatu yang secara faktual kurang jelas atau tidak dikuasai betul oleh si pelapor. Dalam konteks industri modern yang memakai teknologi tinggi, syarat kedua ini sering kali sulit dipenuhi, karena hanya sedikit orang betul-betul menguasai masalahnya.
c.       Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.
            Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi kenyataan, melainkan juga motif untuk melaporkan kesalahan. Tidak etis bila orang melapor karena motif yang tidak murni, walaupun kesalahannya memang besar. Whistle blowing karena motif tidak murni sering terjadi. Misalnya, karyawan yang sudah memutuskan untuk menghentikan kontrak kerjanya dengan perusahaan karena kecewa mengenai pimpinan, pada saat pergi sebagai balas dendam membuka praktek kurang etis dari perusahaan, seperti misalnya tidak membayar pajak. Motifnya jelas kurang baik, yaitu mendiskreditkan perusahaan.
d.      Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar.
            Jika karyawan merasa bertanggung jawab, ia harus berusaha dulu untuk menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal itu juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara internal itu gagal, ia boleh memikirkan whistle blowing.
e.       Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
            Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja, sebelum berlangsung, tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan mencapai sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga. Tetaipi kita bisa berusaha “membaca” situasi dulu.
2.2 Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan
            Di sini juga perlu ditekankan, kita tidak bisa mempelajari semua kewajiban perusahaan. Kita harus membatasi diri pada beberapa kewajiban penting yang minta perhatian khusus. Berturut-turut akan dibicarakan tentang kewajiban perusahaan untuk tidak mempraktekkan diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas, dan untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Dibandingkan dengan pasal sebelumnya, di sini menjadi lebih penting lagi bahwa kewajiban dari pihak satu sering sesuai dengan hak dari pihak lain. Kewajiban perusahaan biasanya sepadan dengan hak karyawan. Secara implisit atau eksplisit, kenyataan ini berulang kali akan tampak dalam pembahasan selanjutnya.
2.2.1 Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi
            Diskriminasi adalah masalah etis yang baru tampak dengan jelas dalam paro kedua dari abad ke-20. Seperti berlaku untuk banyak hal lain di zaman kita, tempat asal masalah ini adalah Amerika Serikat. Salah satu prinsip dasar yang ditulis Thomas Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776) ber-bunyi: ”We hold these truths to be self-evident: that all men are created aqual and endowed by their creator with certain inalienable right”. Tetapi persamaan semua warga negara yang dari semula dianggap begitu eviden, pada kenyataan hanya dengan perlahan-lahan diakui di Amerika Serikat. Sekitar tahun 1950-an masih banyak diskiminasi dipraktekan, khususnya terhadap minoritas kulit hitam, keturunan dari budak-budak yang dulu didatangkan dari Afrika untuk bekerja di perkebunan. Pada waktu itu masih dinilai biasa saja, kalau sekolah atau perusahaan secara prinsipil menolak menerima orang hitam. Kesadaran akan keadaan yang tidak beres ini menimbulkan the civil rights movement, gerakan kaum kulit hitam untuk memperoleh hak-hak sama seperti warga negara Amerika lainnya. Pada tahun 1964 gerakan hak warga negara itu pada prinsipnya tercapai dengan diterimanya undang-undang yang disebut the Civil Rights Act.
            Sejak tahun 1960-an, masalahnya lebih terfokuskan pada diskriminasi terhadap wanita. Dan dalam bentuk itu masalah diskriminasi tentu tidak terbatas pada Amerikat saja, tetapi menjadi masalah untuk seluruh dunia. Kemudian di-persoalkan lagi diskriminasi karena orientasi seksual, diskriminasi karena cacat badan, dan lain-lain. Hampir setiap warga mempunyai salah satu masalah diskriminasi, berhubungan dengan situasinya yang khas. Diskriminasi baru ter-hapus betul, bila dalam suatu negara semua warga negara mempunyai hak yang sama dan diperlakukan dengan cara yang sama pula. Dalam konteks indonesia, diskriminasi terutama timbul berhubungan dengan status asli atau tidak asli, pribumi atau non pribumi, dari warga negara. Di tambah lagi seperti di banyak negara lain, karena alasan agama dan jenis kelamin.
a.      Diskriminasi dalam konteks perusahaan
            Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua sektor masyarakat, termasuk dunia bisnis. Karena itu diskriminasi menjadi juga suatu topik bagi etika bisnis. Mari kita mulai dengan menyelidiki apa yang dimaksud dengan diskriminasi. Istilah ini berasal dari suatu kata latin (discernere) yaang berarti: membedakan, memisahkan, memilah. Menelusuri etimologinya sudah menghasilkan suatu pe-tunjuk pertama tentang artinya, tetapi belum cukup juga. Dengan membedakan begitu saja, belum tentu menjadi diskriminasi. Dalam konteks perusahaan, dengan diskriminasi dimaksudkan: membedakan antara berbagai  karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dalam prasangka. Hal itu bisa terjadi dalam menyeleksi karyawan baru, dalam menyediakan kesempatan promosi, dalam penggajian dan sebagainya.
            Kita berbicara tentang diskiminasi, bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Biasanya  alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhadap ras, agama, atau jenis kelamin bersangkutan. Perusahaan menolak menerima wanita sebagai manajer, karena menilai bahwa wanita lebih baik mengurus rumah tangga serta mengasuh anak dan posisi manajer tidak cocok untuk dia. Dengan demikian, diskriminasi biasanya disertai prasangka. Sebelum bertemu dengan seseorang, ia sudah diberi cap yang tertentu. Dengan kata lain, latar belakang bagi terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme, atau seksisme.
b.      Argumentasi etika melawan diskriminasi
            Mengapa perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi? Apa yang menjadi dasar etika untuk menolak diskriminasi? Argumentasi yang dikemukakan sering berbeda, karena berlandasan beberapa teori etika yang berbeda. Disini diselidiki beberapa argumen yang disajikan oleh utilitarisme, deontologi, dan teori keadilan
1)    Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi me-rugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalam rangka pasar bebas menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang men-jamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan memperhatiakn faktor-faktor lain selain kualitas karyawan, ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Argumen ini pada umumnya bisa diterima, tetapi tidak terlepas dari keasulitan. Kalau praktek diskriminasi dalam suatu situasi tertentu justru menguntungkan perusahaan, apakah dengan itu diskriminasi dapat dibenarkan?. Argumen ini tidak memperlihatkan bahwa diskriminasi merupakan suatu praktek yang selalu tidak etis. Argumen utilitaritis yang lain tidak memfokuskan konsekuensi untuk perusahaan-perusahaan individual, tetapi me-lihat konsekuensi untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Kalau rasisme, sektarianisme, atau seksisme dipraktekkan dalam bentuk diskriminasi, akan tercipta suasana yang tidak sehat dalam masyarakat. Suasana seperti itu tidak kondusif untuk kegiatan sosial apa pun, termasuk juga bisnis. Karena itu diskriminasi selalu harus dianggap tidak etis. Mungkin sudah dipahami bahwa argumen ini dalaskan atas utilitarisme aturan.
2)    Deontologi menyediakan argumen lain. Mereka menggarisbawahi bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang didiskriminasi. Men-diskriminasikan seseorang karena warna kulit atau jenis kelamin berarti menyamakan dia dengan satu ciri saja dan ciri itu (warna kulit atau gender) justru tidak relevan dalam hubungan dengan pekerjaan. Jika seorang karyawan atau calon karyawan didiskriminasikan karena agama atau keyakinan politik, ada alasan tambahan lagi mengapa diskriminasi tidak etis. Ras, gender, dan sebagainya tidak dipilih oleh seseorang dan tidak tergantung dari kebebasannya. Kebebasan dalam bidang ini harus dihormati oleh semua orang lain, juga oleh perusahaan. Jika seseorang didiskriminasi dalam hal ini, berarti hak-hak asasi dilanggar. Dan akhirnya dengan itu martabatnya sebagai manusia dilecehkan juga.
3)    Alasan lain lagi berasal dari teori keadilan. Praktek diskriminasi ber-tentangan dengan keadilan, khususnya keadilan distributif atau keadilan mem-bagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, sama tidak ada alasan khusus untuk mem-perlakukan mereka dengan cara berbeda. Jika seseorang didiskriminasi, ia justru diperlakukan dengan cara tidak sama seperti orang lain, karena alasan yang tidak tepat. Semua argumentasi ini bisa diterima sebagai dasar etika untuk menolak diskriminasi. Jadi, disini tampak konfergensi dari teori-teori etika. Tetapi semua argumen tidak sama kuat. Menurut hemat kami, paling meyakinkan adalah argumen dari deontologi, dan terakhir argumen dari utilitarisme. Tetapi biarpun paling lemah, argumen pertama dari utilitarisme pun dapat dianggap sah dan memperkuat argumen-argumen lain.
c.       Beberapa masalah terkait
            Tidak bisa disangkal, penilaan terhadap diskiminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial atau budaya dalam masyarakat. Beberapa kebiasaan dulu diterima begitu saja dan tidak pernah dipersoalkan. Dulu wanita tidak pernah protes, kalau tidak bisa menjadi pemimpin pemerintah atau pemimpin perusahaan, atau malah tidak boleh ikut dalam pemilihan umum. Saat ini pula di beberapa tempat dengan kondisi sosial dan budaya yang khusus hal-hal seperti itu tidak dipersoalkan. Tetapi di banyak tempat, masyarakat tidak akan menerima lagi jika profesi seperti manajer di perusahaan, perwira dalam tentara atau kepolisian, pilot, dan lain-lain secara prinsipiil tertutup untuk wanita. Mau tidak mau perlu kita akui bahwa masalah diskriminasi sering ditandai relativitas. Masalah yang berkaitan dengan diskriminasi tapi harus dibedakan dengannya adalah favoritisme.
            Dalam konteks perusahaan. dengan favoritisme dimaksudkan ke-cenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus fasilitas khusus dan sebagainya. Seperti diskriminasi, favoritisme pun merupakan bentuk memperlakukan orang dengan cara tidak sama. Kalau diskriminasi bersifat negatif (nenolak orang-orang tertentu), favoritisme bersifat positif (mengutamakan orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutumakan karyawa yang berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dan seterusnya. Malah pada taraf manajamen bisa tampak gejala favoritisme, bila para manajer semua dipilih dari lulusan perguruan tinggi yang sama.
            Di indonesia, favoritisme masih kuat sekali, juga dalam dunia bisnis. Hal itu pasti berkaitan dengan asas kekeluargaan yang merupakan suatu prinsip dasar dalam masyarakat kita. Sifat khas sosial ini membawa banyak dampak positif dan antara lain mengakibatkan bahwa solidaritas tidak merupakan kata hampa. Jika seseorang terkena musibah, dalam masyarakat kita ia masih dapat mengandalkan bantuan dan dukungan dari saudara, kenalan, atau tetangga. Favoritisme yang terlalu tebal bertentangan juga dengan manajemen yang baik. Dalam manajemen personalia, suatu prinsip pokok adalah the right person in the right place. Suatu organisasi atau perusahaan bisa maju jika fungsi-fungsi pimpinan atau keahlian diisi oleh mereka yang paling berkualitas.
            Untuk menanggulangi akibat diskriminasi dulu, kini lebih banyak dipakai istilah  affirmative action, ”aksi afirmatif”. Kalau kita sepakat bahwa diskriminasi selalu tidak etis, sulit kita bicara tentang diskriminasi terbalik atau diskriminasi positif sebagai upaya untuk menghilangkan diskriminasi. Melalui aksi affirmatif orang mencoba mengatasi atau mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya didiskriminasi. Alasan-alasan moral untuk aksi afirmatif itu sekarang ramai  diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa aksi afirmatif wajib dilakukan. Dasar etika adalah  keadilan kompensatoris. Golongan yang dulu didiskriminasi, dengan itu sangat dirugikan dan sekarang kerugian itu harus diperbaiki. Kesulitan dengan argumen ini adalah bahwa menurut keadilan kompensatoris harus diberikan ganti rugi oleh pihak yang mengakibatkan kerugian kepada pihak yang dirugikan. Tetapi dalam hal diskriminasi, sulit untuk menerapkan keadilan kompensatoris, karena justru mereka yang dulu dirugikan sekarang tidak dapat diberi kompensasi lagi dan juga tidak begitu jelas siapa yang dulu mengakibatkan kerugian, sedangkan menurut keadilan kompensatoris ganti rugi harus diberikan oleh pihak yang mengakibatkan kerugian. Ada pendapat lain yang menolak aksi afirmatif. Mereka menekankan bahwa kebijakan seperti itu akan menimbulkan diskriminasi baru. Disamping itu, kebijakan serupa itu akan mengakibatkan keresahan dan frustasi yang tidak perlu dalam masyarakat.
2.2.2 Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja
a. Beberapa aspek keselamatan kerja
            Sebagaimana dilakukan, di sini kita pun membahas keselamatan dan kesehatan kerja bersama-sama. Tetapi walaupun pasti ada hubungan erat antara kesehatan dan keselamatan kerja, ada alasan juga untuk membedakan dua masalah itu. Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja adalah aman, kalau bebas dari resiko terjadinya kecelakaan yang meng-akibatkan si pekerja cedera bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat, kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit sebagi akibat kondisi kurang baik di tempat kerja.
            Di seluruh dunia terjadi banyak kecelakaan di tempat kerja. Tidak dapat diragukan, hal itu merupakan akibat langsung dari acara produksi yang disebut distribusi dan penggunaan teknologi canggih. Menurut National Institute of Occupational Safety and Health, di Amerika serikat setiap hari rata-rata 32 orang tewas di tempat kerja dan 5500 orang mengalami  cedera yang mengakibatkan mereka tidak bias bekerja. Biaya finansial diperkirakan 48 milyar dollar setiap tahun untuk kompensasi para korban dan jauh lebih banyak lagi untuk pembayaran jaminan sosial dan perawatan medis. Mau tidak mau, hal itu akan tercemin dalam harga yang lebih tinggi untuk banyak produk dan jasa. Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).
            Ada aneka macam kecelakaan kerja. Yang minta banyak korban adalah kecelakaan industri di pabrik-pabrik atau tempat industri lain: tangki meledak, pekerja kena mesin, perusakan mata bagi montir las, dll. Sering terjadi kecelakaan yang sebetulnya tidak perlu terjadi, jika peraturan keselamatan di terapkan dengan konsekuen. Seandainya dilaksanakan peraturan keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk pengaman, helm pengaman, dan sebagainya, banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan. Kalau kecelakaan kerja hampir selalu terjadi secara mendadak dan langsung mengakibatkan kerugiannya, maka occupational diseases atau penyakit akibat pekerjaan baru tampak sesudah si karyawan bekerja cukup lama. Selalu sudah diketahui bahwa beberapa macam pekerjaan mempunyai faktor risiko khusus untuk kesehatan si karyawan. Karena penyakit yang disebabkan pekerjaan berkembang perlahan-lahan dan baru menyatakan diri sesudah periode cukup lama, di sini tanggung jawab perusahaan tidak selalu jelas. Ini perbedaan besar dengan kecelakaan di tempat kerja yang langsung memperlihatkan efeknya dan karena itu hubungan dengan pekerjaan tidak bisa diragukan.
b. Pertimbangan etika
            Hampir semua negara modern mempunyai peraturan hukum guna melindungi keselamatan dan kesehatan kaum pekerja. Keadaan di Amerika Serikat yang secara singkat dilukiskan tadi, merupakan satu contoh saja. Dalam hal ini memang perlu dicatat bahwa paraturan hukum itu di semua negara belum tentu sama dan belum tentu memuaskan. Tetapi terlepas dari adanya peraturan hukum, majikan disini juga mempunyai kewajiban moral. Peraturan hukum yang ada dilatarbelakangi alasan-alasan etika dan kalau dalam suatu situasi tertentu peraturan hukum belum cukup melindungi para pekerja, para majikan tidak bebas dari kewajiban tetapi terikat dengan alasan-alasan etika. Di sini kita membahas segi etika dari masalah kaum pekerja.
            Tiga dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerja akan dikemukakan sebagai berikut.
Ø  Ada yang mencari dasar itu dalam hak si pekerja. Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau hak ini belum meyakinkan, kita bisa menunjuk lagi kepada hak setiap manusia untuk tidak dirugikan dan akhirnya kepada hak untuk hidup. Hak terakhir ini merupakan hak dasar., dalam arti: syarat untuk hak-hak lainnya. Kondisi kerja yang berbahaya bisa mengancam jiwa pekerja. Mereka berhak bahwa hal itu tidak sampai terjadi.
Ø  Ada pengarang lain yang menemukan dasar itu dalam deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Jika keselamatan dan kesehatan kerja dibahayakan, maka itu berarti bahwa perusahaan memperbudak para pekerja. Mereka dikorbankan demi tercapainya tujuan perusahaan, yaitu keuntungan ekonomis.
Ø  Kemungkinan lain lagi adalah menunjukkan dasar itu dengan suatu argumentasi utiliaristis. Bisa diperlihatkan bahwa tempat kerja yang aman dan sehat paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri, khususnya bagi ekonomi negara. Dengan kata lain, kewajiban ini sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar, jika proses produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat. Dapat dipahami, bila pikiran ini ditemukan dalam kalangan pemerintah. Rupanya argumentasi ini secara khusus mendorong munculnya Occupational Safety and Health Act di Amerika Serikat.
            Semua argumentasi ini sah dan memperkuat satu sama lain dalam menyediakan dasar etika bagi kewajiban perusahaan entuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya. Namun demikian, pimpinan perusahaan sering membela diri terhadap tuduhan bahwa mereka kurang memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja dengan dua pertimbangan: (1) kematian atau kerugian si pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan pimpinan perusahaan, dan (2) si pekerja menerima resiko kerja dengan sukarela.
            Mari kita memeriksa lebih lanjut dua argumen ini. Argumen pertama adalah bahwa perusahaan atau pimpinan perusahaan tidak boleh dianggap sebagai penyebab langsung dari kecelakan di tempat kerja. Untuk itu ada dua alasan. Pertama, kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan oleh banyak faktor sekaligus, termasuk juga perbuatan para pekerja itu sendiri. Jika ada kombinasi faktor seperti itu, sulitlah untuk menunjukkan pimpinan perusahaan sebagai satu-satunya instansi yang bertanggung jawab. Alasan kedua adalah bahwa kemungkinan terjadinya kerugian untuk pekerja kadang-kadang tidak bisa dihindarkan. Kalau kita mau menghindarkan segala macam risiko, kita harus menghentikan produksi. Bahan yang tidak begitu dibutuhkan bisa dihentikan produksinya, tetapi langkah radikal itu lebih sulit diambil tentang bahan yang dibutuhkan masyarakat.
            Argumen kedua menekankan bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi dengan sukarela menerima resiko. Hal yang sama terjadi juga dalam banyak situasi lain. Tempat tinggal dekat gunung berapi atau daerah rawan gempa bumi selalu mengandung resiko tertentu. Kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol membawa resiko juga, tetapi banyak orang tidak menghentikan kebiasaan tersebut karena alasan itu. Tentang argumen kedua perlu diakui bahwa kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan be-risiko. Si pekerja sendiri harus mengambil risiko dengan sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini, beberapa syarat perlu dipenuhi dulu.
1.    Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat memilih pekerjaan lain tanpa resiko khusus, walapun barangkali dengan pembayaran lebih rendah. Kalau pilihannya adalah pekerjaan beresiko atau menganggur, ia tidak sungguh-sungguh bebas. Kalau begitu, ia terpaksa mengambil pekerjaan itu.
2.    Supaya pekerja dapat menganbil keputusan bebas, ia harus dideri informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya. Supaya dapat men-jalankan kebebasannya sebagaimana semestinya, si pekerja harus mengetahui informasi itu pada saat ia mengambil keputusan mau menerima pekerjaan itu atau tidak.
3.    Perusahaan selalu wajib berupaya, agar resiko bagi si pekerja senimimal mungkin. Dalam hal ini perusahaan harus melaksanakan semua peraturan ke-amanan yang ditetapkan oleh pemerintah atau instansi berwenang lainnya. Kalau hal itu belum cukup untuk situasinya sendiri, perusahaan harus mem-buat peraturan khusus (topi pelindung, pakaian khusus, dan sebagainya) dan senantiasa mengawasi pelaksanaannya.
c. Dua masalah khusus
            Diantara banyak masalah yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, dua persoalan boleh disebut lagi. Pertama, akan dibicarakan pertanyaan apakah pekerja berhak menolak tugas-tugas yang berbahaya. Dan kedua, akan dipelajari segi etis dari ” risiko reproduktif” atau risiko untuk keturunan si pekerja. Apakah pekerja boleh menolak perintah atasan untuk melaksanakan suatu tugas yang dianggap terlalu berbahaya? Jadi, di sini dimaksudkan pekerja yang sudah bekerja untuk suatu perusahaan, bukan calon pekerja yang baru mempertimbangkan mau masuk kerja. Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus mengacu ke kewajiban karyawan untuk menaati semua perintah yang wajar dari atasannya. Masalah kedua menarik, karena kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja bagi dirinya sendiri, melainkan bagi keturunannya. Dengan kata lain, pekerjaan bisa membawa ’risiko reproduktif”, atau dalam arti bahwa pekerja menjadi infertil, atau dalam arti bahwa pekerja wanita melahirkan bayi yang mempunyai kelainan akibat kondisi kerja ibunya. Hal itu terjadi dalam beberapa industri kimia. Pekerja wanita yang terus nenerus berkontak dengan bahan kimia yang berbahaya, bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan bayi cacat.
2.2.3 Kewajiban memberi gaji yang adil
            Salah satu motif yang penting adalah: untuk mengembangkan diri. Karl Marx sudah menekankan bahwa manusia bekerja untuk menjadi manusia sungguh-sungguh, disamping untuk menghumanisasikan alam. Memang benar, bekerja adalah suatu cara penting untuk mengembangkan diri. Setiap manusia mempunyai bakat dan potensi tertentu. Karena itu pula pekerjaan harus disertai kepuasan kerja. Hal itu tercapai, bila seseorang merasa bangga dengan hasil kerjanya dan bila orang lain menghargai pekerjaannya. Suatu cara penting untuk mengungkapkan penghargaan itu adalah imbalan yang pantas. Dalam hal ini gaji atau upah berkaitan erat dengan kepuasan kerja.
            Motif lain untuk bekerja adalah memberi sumbangsih yang berguna kepada pembangunan masyarakat sebagai keseluruhan. Kita tidak pernah bekerja untuk diri kita sendiri, tetapi dengan bekerja kita memajukan manfaat orang lain, entah kelompok terbatas, atu malah masyarakat luas. Menurut kodratnya, pekerjaan adalah suatu kegiatan sosial yang dijalankan bersam orang lain dan demimanfaat orang lain. Motif paling mendasar untuk bekerja adalah mendapat imbalan yang memungkinkan kita untuk hidup dan menghidupu keluarga. Akhirnya orang bekerja untuk ”mencari nafkah”. Dalam gerakan-gerakan sosial di zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok perjuangan utama. Sampai sekarang hampir di segala penjuru dunia masih terjadi pemogokan kerja dan unjuk rasa demi menuntut upah lebih baik. Juga negara yang baru membangun industrinya, seperti Indonesia, tidak luput dari gejala sosial itu.
a.      Menurut keadilan distributif
            Gaji atau upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan distributif. Sebagaimana tentang peranan dan kedudukan kaum pekerja pada umunya, tentang pertanyaan ini pun ada dua pandangan yang sangat berbeda, yaitu liberalisme dan sosialisme. Pandangan yang dilatarbelakangi konsepsi liberalistis berpendapat bahwa upah dan gaji dapat dianggap adil, bila merupakan imbalan untuk prestasi. Pandangan ini melihat masalahnya terutama dari sudut pandang perusahaan. Dari pihak majikan, pertimbangan utama untuk menentukan besar kecilnya upah atau gaji adalah prestasi pekerja. Yang berprestasi tinggi mendapat gaji besar, yang berprestasi rendah hanya diberi gaji setimpal. Pandangan sosialistis dikemukakan dari sudut pandang pekerja. Mereka menekankan bahwa gaji yang adil, bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta keluarga. Bisa saja prestasi dua pekerja sama, tapi yang satu mempunyai kebutuhan lebih banyak karena sudah berkeluarga sedangkan yang lain belum, atau yang satu mempunyai keluarga besar sedangkan keluarga dari yang lain kecil saja. Tetap adil, bila mereka diberi gaji yang berbeda, asalkan berbedaan itu didasarkan atas kebutuhan. Disamping itu sosialisme berpendapat pula bahwa pekerja berhak mengambil bagian dalam laba perusahaan. Karl Marx sudah menegaskan modal itu dapat produktif; yang produktif hanya pekerjaan yang ditambah pada modal. Faktor pekerjaan itu seluruhnya berasal dari kaum pekerja. Karena itu keadilan menuntut, agar pekerja juga diberikan sebagian dari laba. Jika pekerja tidak boleh mengambil bagian dalam laba perusahaan, hal itu berarti eksploitasi terhadap tenaga kerjanya.
            Di kebanyakan negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji atau upah yang adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperanan. Karena prestasi si pekerja dan manfaat bagi perusahaan dinilai begitu penting, dengan sendirinya pekerjaan mendapat nilai pasar dalam ekonomi pasar bebas dan tidak bisa dihindarkan bahwa gaji atau upah ditentukan juga oleh mekanisme pasar. Prestasi dan kebutuhan sudah kita kenal sebagai dua diantara enam prinsip material bagi keadilan distributif. Dan dua prinsip ini memang paling penting dalam menentukan gaji yang adil. Dalam produktivitas prestasi karyawan jelas tidak sama dan hal itu antara lain diekspresikan dalam perbedaan besarnya gaji. Tetapi perbedaan itu tidak boleh diluar proporsi, karena produktivitas akhirnya dihasilkan oleh semua karyawan.
            Prinsip-prinsip ”hak”, ”usaha”, dan ”kontribusi kepada masyarakat” ikut serta pula  dalam menentukan gaji yang adil, tetapi hanya melengkapi dua prinsip pokok ”prestasi”dan”kebutuhan”. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia masalah yang adil disinggung juga. Yang menarik adalah bahwa disini ditunjuk hanya prinsip ”kebutuhan”, biarpun kata itu sendiri tidak dipergunakan. Dalam pasal 23, butir 2 ditegaskan: ”Setiap orang yang bekerja berhak atas imbalan yang adil dan memadai, yang menjamin bagi dia dan keluarganya suatu kehidupan yang layak bagi martabat manusia, dan dilengkapi kalau perlu dengan cara perlindungan sosial lainnya. Disini faktor prestasi tidak disebut dan tidak perlu disebut. Karena otomatis akan diikutsertakan dalam menentukan gaji yang adil. HAM selalu berkaitan dengan sesuatu yang bermasalah, yang tidak dengan sendirinya dilaksanakan. Demikian juga disini, perumusan hak pekerja atas imbalan yang adil ini merupakan suatu reaksi atas eksploitasi pekerja dalam kapitalisme liberal dulu.
            Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus seperti rumah, kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga sebagai sebagian dari imbalan kerja. Dan lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun, dan sebagainya. Gaji yang relatif rendah bisa nencukupi juga, asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.
b.      Enam faktor khusus
            Beberapa pengarang menjajaki kemungkinan untuk memperoleh kriteria lebih konkret lagi, guna menetapkan gaji atau upah yang bisa dinilai adil . Dalam hal ini usulan dari Thomas Garrett dan Richard. Klonoski banyak diikuti. Supaya gaji atau upah itu adil atau fair, menurut mereka enam kriteria berikut ini pantas dipertimbangkan sebagai pegangan :
  1. peraturan hukum;
  2. upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu;
  3. kemampuan perusahaan;
  4. sifat khusus pekerjaan tertentu;
  5. perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan;
  6. perundingan upah/gaji yang fair;

1) Peraturan hukum. Salah satu pertimbangan pertama untuk menentukan gaji/upah yang adil adalah kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku. Disini yang paling penting adalah ketentuan kuhum tentang upah minimum. Hampir semua negara modern sekarang mengenal sistem upah minimum. Ini dapat dilihat sebagai salah satu hasil perjuangan sosialisme dalam usahanya mem-perbaiki nasib kaum buruh. Adnya upah minimum berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah. Sekaligus pandangan liberalistis di sini harus mengalah (untuk sebagian): upah atau gaji tidak boleh ditentukan semata-mata oleh mekanisme pasar kerja. Walaupun ada pekerja yang bersedia bekerja denga imbalan di bawah upah minimum, harus dianggap tidak etis, bila pengusaha memanfaatkan kesempatan itu.
2) Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu. Dalam semua sektor industri, gaji atau upah tidak sama. Karena itu rupanya suatu kriteria yang baik adalah; gaji atau upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberikan dalam sektor industri bersangkutan. Tetapi kriteria ini mengandaikan bahwa keadaan disektor itu cukup mantap. Karena itu mungkin lebih sulit menerapkan kriteria ini di negara-negara yang baru mulai mengembangkan industrinya. Karena biaya hidup di semua tempat tidak sama, bisa diterima saja bila upah atau gaji tidak sama pula di semua tempat. Di kota besar umumnya biaya hidup lebih tinggi ari pada di kotakecil atau pedesaan. Perbedaan itu tidak bertentangan dengan keadilan, karena gaji yang sama belum tentu menjamin daya beli yang sama.
3) Kemampuan perusahaan. Perusahaan yang kuat menghasilkan laba besar, harus memberi gaji lebih besar pula dari pada perusahaan yang mempunyai marjin laba yang lebih kecil. Pemberian bonus ekstra juga pada akhir tahun, sesuai dengan desarnya laba, merupakan kebijakan yang sangat baik. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Jika perusahaan mengalami kesulitan finansial, pantaslah para karyawan mengurungkan niatnya untuk minta kenaikan gaji.
4) Sifat khusus pekerjaan tertentu. Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalankan oleh orang yang mendapat pendidikan atau pelatihan khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji lebih tinggi. Hal yang sama dapat dikatakan juga tentang pekerjaan yang menuntut pengalaman lebih besar atau pekerjaan yang mengandung resiko tertentu untuk kesehatan atau keselamatan si pekerja. Dalam kasus itu keadilan tidak dilanggar, jika orang bersangkutan dibayar upah atau gaji lebih tinggi daripada orang lain yang tidak mengalami kondisi tersebut.
5) Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan. Kalau pekerja tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih lama atau mengandung risiko tertentu, maka gaji atau upah harus sama. Perusahaan yang mempunyai sistem penggajian yang fair, akan membayar gaji atau upah yang kira-kira sama untuk pekerjaan yang sejenis. Disini berlaku prinsip ”equal pay for equal work”. Kalau tidak, perusahaan mempraktekan diskriminasi. Di banyak negara diskriminasi ini masih berlangsung dalam penggajian wanita. Tentu saja, perbedaan penggajian bisa disebabkan karena seseorang (pria) diakui sebagai kepala keluarga yang menghidupi seluruh keluarga, sedangkan dalam keluarga lain suami-istri dua-duanya bekerja. Kepala keluarga itu mendapat gaji lebih besar karena alasan kebutuhan. Tetapi, kalau begitu, pada prinsipnya wanita seharusnya dapat diakui juga sebagai kepala keluarga.
6) Perundingan gaji/upah yang fair. Mungkin di Indonesia kriteria ini masih terasa asing, karena posisi organisasi pekerja dan karyawan masih terlalu lemah. Tetapi di Negara-negara industri maju, sejarah telah membuktikan bahwa perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara yang ampuh untuk mencapai upah dan gaji yang fair. Cara ini memberi jaminan lebih besar untuk mewujudkan keadilan daripada gaji atau upah yang ditentukan sepihak. Melalui perundingan, sekaligus dapat diatur hal-hal lain yang penting juga untuk kaum pekerja, seperti jaminan kesehatan, jumlah jam kerja, dan lain-lain. Tentu saja perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak perusahaan. Cara itu berguna untuk memperkuat stabilitas ekonomi, dengan menyadari bahwa aksi unjuk rasa dan mogok kerja akan merugikan semua pihak.
c.       Senioritas dan imbalan rahasia
            Akhirnya perlu kita bicarakan lagi dua masalah khusus yang bisa timbul dalam hubungan dengan topik penggajian ini. Yang pertama adalah senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji. Maksudnya, orang yang bekerja lebih lama pada suatu perusahaan atau instansi mendapat gaji lebih tinggi. Di banyak nergara  cara ini diikuti, terutama untuk profesi tertentu  seperti dalam dunia pendidikan (guru atau dosen). Kebiasaan ini menyimpang dari prinsip ”pembayaran gaji yang sama untuk pekerja yang sama”. Sebab, dalam hal ini dua orang melakukan pekerjaan yang sama tapi mempunyai senioritas berbeda, justru tidak digaji dengan cara yang sama. Pertimbangannya adalah bahwa gaji lebih tinggi yang berdasarkan senioritas itu merupakan semacam penghargaan bagi kesetiaan si karyawan terhadap perusahaan atau profesinya. Tambahan pula, karyawan senior memiliki pengalaman lebih banyak dan hal itu pun sering membuat dia menjadi tenaga kerja yang berharga. Perlu kita sadari bahwa kebiasaan ini kadang-kadang bisa menimbulkan segi negatif juga. Karena karyawan senior adalah tenaga lebih mahal, perusahaan sering cenderung untuk mem-PHK justru mereka, dalam keadaan ekonomi yang sulit ketika jumlah tenaga kerja harus dilangsingkan. Dalam keadaan krisis seperti itu biaya penggajian akan menjadi faktor  yang penting. Di samping itu, dalam sistem ini para karyawan senior yang kehilangan pekerjaan akan menghadapi kesulitan ekstra besar untuk memperoleh pekerjaan baru.  Jika usia turut menentukan tingginya gaji, bagi parusahaan lebih menguntungkan menerima tenaga muda.
            Ada yang berpendapat bahwa senioritas yang secara otomatis diikutsertakan dalam menentukan tingginya gaji, sudah tidak pantas pada zaman sekarang. Menurut mereka, hal itu masih merupakan sisa-sisa dari zaman dulu ketika orang dihargai hanya karena senioritasnya (di luar pertimbangan lain seperti pengalaman, dan sebagainya). Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek pembayaran khusus atau kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Yang dimaksudkan di sini memang dekat dengan sistem pemberian bonus dan insentif, tapi bedanya adalah bahwa pembayaran ini berlangsung dalam suasana rahasia, sehingga hanya yang bersangkutan yang diberi tahu. Bagi para manajer, cara ini mudah untuk diterapkan karena fleksibilitasnya. Kenaikan gaji atau bonus dimaksudkan sebagai stimulans bagi semua karyawan. Fungsi ini sulit untuk diwujudkan kalau karyawan satu tidak tahu bahwa karyawan lain mendapat kenaikan. Supaya mencapai tujuan motivasionalnya, lebih baik semua karyawan tahu tentang adanya kenaikan gaji atau bonus dan serentak juga tentang kriteria yang dipakai. Hanya dengan demikian karyawan lain pula akan berusaha mendapat kenaikan sejenis. Di sini bisa ditambah lagi alasan dari segi etika. Rupanya juga tidak fair, kalau orang tidak diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat kenaikan gaji atau bonus. Supaya sungguh-sungguh fair, sistemnya harus terbuka. Suasana terbuka membberi kesempatan untuk mengadakan kontrol sosial. Kalau terjadi dalam keadaan sembunyi-sembunyi, bisa saja pembayaran ekstra diberikan karena alasan tidak obyektif, seperti orangnya masih berhubungan famili atau berasal dari kampung yang sama, dan sebagainya. Apalagi, cara ini bisa merusak suasana kerja, karena para karyawan mudah bersikap curiga yang satu terhadap yang lain.
2.2.4 Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena
            Dalam lingkungan perusahaan, pemberhentian karyawan sering tidak bisa dihindarkan. Jika kita terjun dalam sistem bisnis modern, mau tidak mau hal seperti itu kadang-kadang harus terjadi. Such is life, orang inggris bilang. Tetapi perlu kita akui juga, kejadian seperti itu termasuk masalah paling sensitif, karena nasib hidup karyawan berserta keluarganya dipertaruhkan secara langsung. Di samping itu harga diri si pekerja terluka juga. Cara menangani masalah ini bisa menunjukkan mutu etis para majikan.
            Terutama ada tiga alasan mengapa perusahaan akan memberhentikan karyawan; alasan internal perusahaan (restrurasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan lain), alasan eksternal (konyungtur, resesi ekonomi), dan kesalahan karyawan. Pada kenyataannya alasan pertama dan kedua kerap kali terkait. Dalam bidang ini kebebasan pengusaha sangat terbatas, dan dimana kita tidak bebas, kita tidak ada pilihan untuk memberhentikan karyawan atau tidak, mereka masih bisa mengatur cara bagaimana karyawan diberhentikan. Menurut Garrett dan Klonoski, dengan lebih konkret kewajiban majikan dalam menberhentikan karyawan dapat dijabarkan ke dalam tiga butir berikut ini:
1) Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat. Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis, seperti mendesaknya pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, pimpinan harus sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan itu. Jika para pengambil keputusan ragu-ragu tentang tepatnya atau mendesaknya tindakan itu, mereka harus menunda dulu keputusan itu demi mempertahankan kesempatan kerja. Jika tindakan PHK tidak bisa dihindarkan, pimpinan mempunyai kewajiban khusus untuk tidak mem-berhentikan para karyawan senior. Terutama karena dua alasan. Pertama, merekalah yang berjasa dalam membuat perusahaan seperti adanya dan karenanya perusahaan berutang budi kepada mereka. Walaupun tidak jarang dari segi ekonomis lebih menguntungkan untuk memberhentikan karyawan senior, dari segi keadilan perusahaan harus mempertimbangkan faktor jasa itu. Kedua, karyawan senior terutama akan mengalami kesulitan umtuk mendapat pekerjaan baru, sedangkan karyawan muda lebih gampang ditampung oleh perusahaan lain.
            Kalau karyawan diberhentikan karena kesalahannya, keputusan itu seluruhnya tergantung pada kemauan si majikan. Tetapi majikan boleh bengambil keputusan keras itu, asalkan alasanya tepat. Alasan itu tidak tepat, bila tindakan PHK itu didasarkan atas faktor subjektif saja, yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di perusahaan. Alasan itu harus didasarkan atas faktor obyektif, seperti misalnya pelanggaran. Karyawan malas bukan saja merugikan perusahaan karena banyak tugas tidak selesai dengan semestinya, ia mempengaruhi juga karyawan lain sehingga seluruh suasana kerja menjadi tidak sehat dan tidak efisien. Tetapi ketegasan manajer dalam hal ini juga tidak boleh ekstrem. Jika seorang karyawan bersalah, sebaiknya ia diberi peringatan dulu, sebelum ia diberhentikan dengan definitif. Dan di sini juga berlaku karyawan senior sedapat mungkin harus dipertahankan karena jasanya di masa lampau. Kesalahannya harus sungguh-sungguh besar dan tidak ada jalan keluar lain (seperti dipindahkan ke bagian lain), baru karyawan senior boleh diberhentikan. Karyawan muda lebih cepat boleh diberhentikan, kalau bersalah.
2) Majikan harus berpegang terhadap prosedur yang semestinya. Dalam hal ini peraturan hukum (kalau ada) harus dipegang dengan seksama. Di samping itu perusahaan besar sebaiknya   mempunyai aturan-aturan internal yang menjamin prosedur pemberhentian yang  jelas dan terbuka. Hal itu terutama memdesak, bila karyawan dipecat karena kesalahanya. Di satu pihak prosedur yang terbuka, berdasarkan aturan yang diketahui semua karyawan, tidak akan menggoncangkan kepercayaan karyawan pada perusahaannya dan tidak akan merusak iklim kerja. Sebab, tindakan pemberhentian selalu merupakan kejadian yang sensitif dan solidaritas di antara para karyawan pada umumnya cukup besar. Jika prosedur pemberhentian berlangsung secara jelas, bukan saja karyawan yang dihukum tapi semua karyawan lain juga lebih mudah menerima tindakan itu sebagai fair dan tidak akan muncul efek negatif untuk produktivitas di perusahaan.
            Dari perusahaan kecil tidak bisa di harapkan bahwa mereka memiliki aturan-aturan yang rinci tentang pemberhentian karyawan yang bersalah. Dalam kasus semacam itu, pimpinan perusahaan harus berpegang pada kearifan pribadi, selain pada peraturan hukum atau peraturan organisasi majikan, atau sebagainya. Tetapi untuk semua perusahaan besar mau pun kecil berlaku prinsip-prinsip berikut ini, agar prosedur memperhatikan bisa dianggap fair :
ü  Tuduhan terhadap karyawan harus dirumuskan dengan jelas dan didukung oleh pembuktian yang meyakinkan.
ü  Karyawan harus diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan orang yang menuduhnya, untuk membantah tuduhan dan memperlihatkan bahwa pembuktiannya tidak tahan uji, kalau ia memang tidak bersalah.
ü  Harus tersedia kemungkinan untuk naik banding dalam salah satu bentuk, sehingga keputusan terakhir diambil oleh orang atau instansi yang tidak secara langsung berhubungan dengan karyawan bersangkutan.
3) Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin. Dibanyak negara, kepada karyawan yang diberhentikan karena kesalahannya pun, menurut peraturan hukum harus diberikan pesangon. Hal itu tidak enak bagi majikan bersangkutan, tetapi tidak dapat dinilai kurang adil, karena karyawan yang bersalah pun tidak boleh dibiarkan terlantar. Di negara kesejahteraan (welfare state) orang seperti itu pun memiliki hak atas tunjangan penganggur. Tetapi kewajiban untuk meminimalisasikan akibat PHK, berlaku dengan lebih mendesak lagi bagi karyawan yang diberhentikan karena alasan ekonomis.
            Satu cara yang banyak membantu untuk meringankan efek-efek buruk dari PHK adalah memberitahukan prospek itu kepada karyawan beberapa waktu sebelumnya. Dalam kasus restrukturasi atau pelangsingan perusahaan, hal itu sering kali dimungkinkan, asalkan perusahan bersedia mengukuti kebijakan yang terbuka. Dengan demikian diberikan kesempatan kepada karyawan untuk memcari pekerjaan lain. Malah bisa ditanyakan apakah dalam kontrak kerja tidak harus dijamin periode pemberitahuan semacam itu, sebagaimana dalam kontrak kerja itu karyawan juga harus memberitahukan suatu waktu sebelumnya, bila ia ingin meninggalkan perusahaan.

2.3 Beberapa Kasus
2.3.1 Bank Daiwa di Amerika Serikat
            Pada tahun 1995 orang Jepang Toshihide Iguchi, umur 44 tahun, dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh pengadilan Amerika serikat karena penipuan dan pemalsuan dokumen, disamping itu harus membayar 2,6 juta dollar Amerika sebagai denda dan ganti rugi. Dengan bond trading di cabang Bank Daiwa di New York ia menghilangkan 1,1 milyar dollar Amerika milik perusahaannya. Seluruhnya ia melakukan lebih dari 30.000 transaksi tanpa izin dan ia dapat merahasiakan tingkah lakunya selama 12 tahun. Tentu ia hanya bisa melakukan semuanya ini karena banyak kelemahan dalam kontrol dan manajemen di bank Jepang ini. Oleh karena itu Bank Daiwa dilarang beroperasi lagi di pasaran finansial Amerika serikat.
2.3.2 Donald Wohlgemuth dan Goodrich
            Pada tahun 1960-an Donald Wohlgemuth adalah insinyur amerika serikat yang bekerja pada perusahaan Goodrich di Ohio, perusahaan yang memproduksi bahan karet. Ia bekerja pada unit yang membuat pakaian astronaut untuk proyek antariksa dari pemerintah Amerika dan mempunyai akses kepada teknologi rahasia. Ia tidak puas dengan gajinya serta kondisi kerja dan karena itu mulai berunding dengan perusahaaan International Latex, saingan bagi Goodrich, tentang gaji dan fasilitas, jika ia masuk di sana. International Latex pun mempunyai program pembuatan pakaian astronaut untuk pemerintah. Pimpinan Goodrich tidak setuju dan mengajukan masalah kerja ini ke pengadilan. Mereka berharap agar hakim melarang Wohlgemuth berpindah ke International Latex. Pemerintah memutuskan bahwa Goodrich tidak bisa melarang Wohlgemuth untuk menjual ketrampilannya kepada perusahaan lain, tapi sekaligus melarang Wohlgemuth intuk membuka informasi rahasia dari perusahaan lamanya.














BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dalam melakukan kegiatan operasional sehari-hari, karyawan memiliki kewajiban terhadap perusahaan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan juga memiliki kewajiban terhadap karyawan. Ada tiga kewajiban karyawan yang penting. Yaitu kewajiban ketaatan, kewajiban konfidensialitas, dan kewajiban loyalitas. Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para karyawannya, serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena terhadap para karyawannya.
            Whistle blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawakan banyak kerugian, secara material maupun moril. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat berharga bagi setiap perusahaan. Untuk si pelapor juga, whistle blowing adalah langkah yang diambil dengan berat hati. Ia melakukannya semata-mata terdorong oleh hati nuraninya dan sebetulnya sangat menyesalkan akibat negatif bagi perusahaan.
            Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan kepada kepentingan ekonomis. Risiko memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus dibatasi sampai seminimal mungkin, walaupun upaya itu bisa mengakibatkan biaya produksi bertambah. Selain itu si pekerja harus menerima risiko itu dengan bebas, setelah lebih dahulu ia diinformasikan secukupnya. Pekerja harus di beri imbalan ekstra untuk mengimbangi resiko, baik dalam gaji langsung maupun dengan asuransi khusus. Akhirnya pekerjaan beresiko itu hanya bisa ditolelir, jika menghasilkan produk yang bermanfaat untuk masyarakat. Dengan cara iseng saja membiarkan resiko kerja harus dinilai tidak etis.




















Daftar Pustaka

Berten, K. 1999. Pengantar Etika Bisnis ”bab 6”. Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar