Kata Pengantar
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Berkat limpahan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas membuat makalah Pendidikan
Kewarganegaraan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Retno Catur
K.D, SH., MH selaku dosen pengampu, yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami berharap makalah ini bermanfaat
bagi pembaca dan agar para pembaca dapat memahami tentang konsep dari “Pancasila
dalam Konteks Perjuangan Bangsa Indonesia”. Dalam penyusunan tugas makalah ini
penulis telah menghadapi berbagai hambatan, baik itu yang datang dari diri
penulis sendiri, maupun dari luar. Untuk itu penulis menghaturkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada pihak yang telah membantu penyelesaian makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharap kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang mendukung, agar penulis bisa memperbaiki adanya
kesalahan.
Jombang,
25 September 2014
Penulis
Daftar Isi
Halaman
Judul .......................................................................................................................... i
Kata
Pengantar ........................................................................................................................ ii
Daftar
Isi ................................................................................................................................ iii
BAB
I : PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan
masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan
penulisan .................................................................................................... 2
BAB
II : PEMBAHASAN
2.1
Teori Asal Mula Pancasila ..................................................................................... 3
2.1.1 Asal Mula Pancasila Secara Budaya............................................................. 5
2.1.2 Asal Mula Pancasila Secara Formal.............................................................. 5
2.2
Berdirinya Sriwijaya .............................................................................................. 7
2.2.1 Silsilah ......................................................................................................... 8
2.2.2 Periode Pemerintahan .................................................................................. 9
2.2.3 Wilayah Kekuasaan ..................................................................................... 9
2.2.4 Struktur Pemerintahan................................................................................ 10
2.2.5 Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.................................................. 10
2.3 Pancasila Pada Zaman Sriwijaya................................................................... 11
BAB
III : PENUTUP
3.1
Simpulan .............................................................................................................. 14
Daftar
Pustaka ....................................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun
walaupun pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan
dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa, sikap mental, budaya
dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di
keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan
banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai
sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam
perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan
salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik
mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Nilai – nilai pancasila itu telah ada pada bangsa indonesia
sejak zaman dulu kala sebelum bangsa indonesia mendirikan negara. Proses
terbentuknya negara indonesia melalui proses sejarah yang cukup panjang yaitu
sejak zaman batu hingga munculnya karajaan-kerajaan pada abad ke-IV
Pada abad VII, muncullah di Sumatera (Palembang) sebuah
Kerajaan bernama Sriwijaya sebagai Kerajaan nasional pertama di Indonesia di
bawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang terkenal Balaputra. Sebagai Negara
maritim, Sriwijaya mempersatukan seluruh nusantara sampai abad XII.
Menjelang abad XII situasi dan kondisi Sriwijaya semakin
memburuk disebabkan adanya perpecahan melalui perang saudara diantara keluarga
dinasti Syailendra. Dengan surutnya Kerajaan Sriwijaya, munculah kerajaan kecil
dimana-mana.
Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam sesuatu negara
telah tercemin pada kerajaan sriwijaya yang berbunyi yaitu ”marvuat vanua
criwijaya siddhayara subhika”{suatu cita-cita negara yang adil dan makmur}.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Pancasila sebagai dasar Negara dalam masa perjuangan (Zaman Sriwijaya)?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menguraikan
Pancasila sebagai dasar Negara dalam masa perjuangan (Zaman Sriwijaya).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TEORI ASAL MULA PANCASILA
AT. Soegito (1999: 29-33)
menjelaskan bahwa Notonagoro ketika membahas asal mula Pancasila dasar
filsafat Negara mengatakan bahwa pembicaraan mengenai asal mula Pancasila
memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kedudukan Pancasila sebagai
dasar filsafat atau dasar kerohanian negara.
Segala sesuatu ciptaan atau makhluk
yang berada di dalam waktu, pasti memiliki proses penjadian, artinya dulunya
tidak ada lalu menjadi ada, sehingga dapat dikatakan mempunyai permulaan.
Proses menjadinya ada itu disebabkan oleh sesuatu yang lain yang dinamakan asal
mula. Pancasila sebagai dasar filsafat Negara pernah tidak ada, maka mempunyai
hal lalin yang mengadakan, asal mula atau sebab pula. Pancasila itu terdapat
dalam hukum dasar Negara yang tertinggi, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yang merupakan naskah penjelasan dari proklamasi kemerdekaan.
Menjadinya Pancasila sebagai dasar
filsafat Negara tentu saja bersamaan dengan waktu ditetapkannya Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, sekalipun asal mulanya
lebih tua. Kedua-duanya sama-sama mempunyai sejarah. Untuk pertama kalinya
Pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan Jakarta-Charter
(Piagam Jakarta), akan tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai
dasar filsafat Negara Indonesia Merdeka yang akan didirikan, yaitu pada tanggal
1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
Diperuntukkan kepada Pancasila
sebagai dasar filsafat Negara, maka kita mendapatkan asal mula- asal mula
sebagai berikut : asal mula langsung dan asal mula tidak langsung. Pembagian
asal mula langsung dan tidak langsung didasarkan atas hubungannya dengan proses
menjadinya Pancasila sebagai dasar filsafat Negara. Asal mula langsung meliputi
pembahasan-pembahasan menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan yang
menunjukkan aspek langsung menjadinya pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan
asal mula tidak langsung lebih menunjuk pada aspek bahan dalam dimensi historis
masa lampau khususnya yakni sebelum kemerdekaan, tidak dihubungkan secara
langsung dengan proses pembahasannya di sekitar proklamasi.
Asal
mula langsung dari Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan :
- Causa materialis (asal mula bahan)
Ialah berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya
sehingga pada hakikatnya nilai-nilai yang menjadi unsure-unsur Pancasila adalah
digali dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat kebudayaan
dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia. Dengan demikian asal mula bahan atau causa materialis dari Pancasila
adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa kepribadian dan pandangan
hidup. Tetapi perlu mendapatkan catatan bahwa nilai-nilai yang terdapat pada
kelima sila Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ideal, sedangkan
yang dianggap tidak ideal tidak diakomodasikan.
- Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun)
Yang dimaksudkan adalah bagaimana
Pancasila itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pendukung asal mula bentuk dari
pancasila adalah Soekarno dan Hatta ditambah dengan anggota BPUPKI selain
sebagai Pembentuk Negara mengatasnamakan wakil bangsa Indonesia, juga
telah merumuskan dan membahas Pancasila yang berkaitan bentuk rumusan dan nama
Pancasila.
- Causa efisien (asal mula karya)
Ialah asal mula yang meningkatkan
Pancasila dari calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar
negara. Asal mula karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang
kemudian mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara
setelah melalui pembahasan dalam siding-sidangnya.
- Causa finalis (asal mula tujuan)
Adalah tujuan dari perumusan dan
pembahasan Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai
kepada kausa finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan. Asal
mula sambungan penghubung antara asal mula bentuk(causa formalis) yakni Panitia
Sembilan, termasuk Soekarno- Hatta, anggota-anggota BPUPKI, anggota-anggota
PPKI, yang merumuskan rancangan Pembukaan UUD 1945 dan yang menerima dengan
pearubahan rancangan tersebut (A.T. Soegito, 1999, 25; Kaelan, 1999: 53-55)
2.1.1 Asal mula Pancasila secara budaya
Sunoto (1984) melalui kajian
filsafat Pancasilanya menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari
bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar
Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum
tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan
bahkan melaksanakan di dalam kehidupan meareka. Sejarah bangsa Indonesia
memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan,
bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto,
1984: 1). Dengan rinci Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah :
- Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
- Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita.
- Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap sesama.
Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar
negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan
sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun pada kenyataannya,
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek moyang
bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat
Indonesia sejak zaman nenek moyang.
2.1.2 Asal mula Pancasila secara formal
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber
bacaan menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang
dapat dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya
sebelum dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk
mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena
itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah
dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa
mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari
gejala-gejala sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan
bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi : 1. Membangkitkan
perhatian serta minat kepada sejarah tanah airnya; 2. Mendapatkan inspirasi
dari cerita sejarah; 3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah; 4.
Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah; 5. Mengembangkan pikiran
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
terkait dengan Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa
nilai-nilai Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia
yaitu 1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi
kenyataan; 2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad,
bertahap dan menggunakan cara yang bermacam-macam; 3. Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 merupakan titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
dijiwai oleh pancasila; 4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945; paham negara persatuan, negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab; 6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok
yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila; 7. Maka
penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan berdasar kepada
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).
Secara historis rumusan- rumusan
Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok (Bakry, 1998: 20) :
- Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
- Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3. Beberapa rumusan dalam perubahan
ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
2.2 Berdirinya Sriwijaya
Sebagai
pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak
seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia
Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja,
dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota
Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang
dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu
tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam
air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari,
Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya
bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs
Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut
hanya bagian pondasinya saja.
Seiring
perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya.
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan
tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan
tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara
prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682
M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan
perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213
tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini
berakhir di mukha-p. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan
wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Dalam
prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman
oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama
Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat
dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.
Ia
merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya
beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama.
Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan
bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya.
Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan
di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke
Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks
Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan
tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah
tahun 988 M.
Dalam
sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan
tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil
bumi lainya.
Dari
catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar
pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar.
Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin
menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai
komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab.
Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar,
berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada
abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M,
Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur.
Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan
balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M,
Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India.
Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari
muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
2.2.1 Silsilah
Salah
satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta
Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri
kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan
seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu
kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan
dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari
pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang
menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M.
Berikut ini daftar silsilah para raja
Sriwijaya:
Dapunta
Hyang Sri Jayanasa (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1) Cri
Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2) Rudrawikrama
(berita Cina, tahun 728, 742).
3) Wishnu
(prasasti Ligor, 775).
4) Maharaja
(berita Arab, tahun 851).
5) Balaputradewa
(prasasti Nalanda, 860).
6) Cri
Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7) Cri
Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8) Cri
Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9) Maraviyayatunggawarman
(prasasti Leiden, 1044).
10) Cri
Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).
2.2.2 Periode Pemerintahan
Kerajaan
Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan
ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan
munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
2.2.3 Wilayah Kekuasaan
Dalam
sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu
faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara
adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya
pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah
kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas
perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya
kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari
prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang
berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang
dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang
dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat.
Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari
persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah
Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka
ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa,
daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang
mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini
merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah
Nusantara.
2.2.4 Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di
Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan
yaitu:
a. Samraj,
artinya berdaulat atas rakyatnya.
b. Indratvam,
artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada
rakyatnya.
c. Ekachattra.
Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi
(melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan
raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang
bersifat transenden.
Belum
diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah
satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai
panglima perang.
2.2.5 Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
2.2.5 Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai
kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim
yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan
perjalanan I-tsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat
seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama
enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga
menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya
belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian
belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di
Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu
Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record
of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang
selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan
salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.
Sampai
awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha
Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan
suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu
prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9
M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti
pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya)
yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja
Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa
untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna,
Nagipattana, India.
Di
bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang
sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa
dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song
(960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas
yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M)
dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala,
kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah,
emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang
ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan
kain sutra.
2.3 Pancasila Pada Zaman Sriwijaya
Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan
indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang
merupakan warisan nenek moyang bangsa indonesia. Negara kebangsaaan indonesia
terbentuk melalui tiga tahap yaitu : pertama, zaman sriwijaya di bawah wangsa
syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan zaman
majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan
negara kebangsaan indonesia lama. Kemudian ketiga, kebangsaan modern yaitu
negara bangsa indonesia merdeka (sekarang negara proklamasi 17 agustus
1945) (sekretariat negara RI 1995 :11).
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di sumatra yaitu
kerajaan sriwijaya, dibawah kekuasaaan bangsa syailendra. Hal ini termuat dalam
prasasti kedukan bukit di kaki bukit siguntang dekat palembang yang bertarikh
605 caka atau 683 M. Dalam bahasa melayu kuno huruf pallawa. Kerajaan
itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci
lalulintas laut disebelah barat dikuasainya seperti selat sunda kemudian selat
malaka. Pada zaman itu kerajaan sriwijaya merupakan kerajaan besar yang cukup
disegani dikawasan asia selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan
pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut Tuhan An Vatakvurah sebagai
pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakat mudah untuk memasarkan
dagangannya. Demikian pula dalam sistem pemerintahaannya terdapat pegawai
pengurus pajak, harta benda, kerajaan, kerokhanian yang menjadi pengawas
tekhnis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga pada saat itu
kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai
ketuhanan.
Agama dan kebudayaan dikembangkan dengan mendirikan suatu
universitas agama budha, yang sangat terkenal di negara lain di asia. Banyak
musyafir dari negara lain misalnya dari cina belajar terlebih dahulu di universitas
tersebut terutama tentang agama budha dan bahasa sansekerta sebelum melanjutkan
studinya ke india. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari india yang mengajar
di sriwijaya misalnya dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama
dalam suatu negara adalah tercemin pada kerajaan sriwijaya tersebut yaitu
berbunyi ‘marvuat vanua criwijaya dhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara
yang adil dan makmur).
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya, nilai-nilai yang terdapat
dalam pancasila, telah menjadi asas-asas yang menjiwai kehidupan bangsa
Indonesia pada waktu itu. Nilai-nilai Pancasila tersebut dihayati dan
dilaksanakan hanya saja belum dilaksanakan secara konkrit.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya, nilai-nilai dasar Pancasila
telah hidup dan terpelihara dalam masyarakat seperti berikut:
1.
Nilai
sila pertama, terwujud dengan adanya kerukunan hidup antara umat agama Budha
dan Hindu yang hidup secara damai. Selain itu di Kerajaan Sriwijaya juga
terdapat pusat pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2.
Nilai
sila kedua, terwujud dengan terjadinya hubungan antara Sriwijaya dan India
(Dinasti Harsha) dalam bentuk pengiriman para pemuda untuk belajar di
India. Contoh tersebut merupakan bukti bahwa pada masa tersebut telah tumbuh
niali-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3.
Nilai
sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep Wawasan
Nusantara.
4.
Nilai
sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang, Siam, dan Semenanjung Melayu).
5.
Nilai
sila kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan
berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan
deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang
berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang
akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan
dengan kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan
masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan
melewati suatu proses waktu yang sangat panjang. Dalam proses waktu yang
panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian penting yang merupakan tonggak
sejarah perjuangan.
Dan Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur Negara Replubik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara
dan seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Daftar Pustaka
Darmodiharjo,
Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries Lima.